SALAH satu hukum fiqih yang kita ketahui, orang yang junub membaca Al-Quran adalah haram, dengan tujuan tilawah atau membaca Al-Qur’an, berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Namun jika membaca ayat atau potongan ayat tertentu dari Al-Quran bukan dengan niat tilawah, tapi niat membacanya sebagai doa, dzikir, atau lainnya, tidak haram hukumnya. Dan hal ini (orang yang junub membaca Al-Quran) merupakan penerapan kaidah fiqih: الأمور بمقاصدها (Setiap perkara tergantung tujuannya).
Pertanyaannya, bagaimana kalau yang dibaca adalah sekian ayat, atau satu surah penuh, atau bahkan seluruh Al-Qur’an, tapi tidak diniatkan untuk tilawah atau membaca Al-Qur’an?
BACA JUGA: Jima Malam Hari, Haruskah Langsung Mandi Junub? Perhatikan 2 Hal Ini
Syihabuddin Ar-Ramli, sebagaimana disebutkan oleh muridnya, Al-Khathib Asy-Syirbini, dalam “Mughni Al-Muhtaj”, memfatwakan orang yang junub membaca Al-Quran dibolehkan selama tidak ia niatkan untuk membaca (qiraah/tilawah) Al-Qur’an.
Namun pandangan berbeda disampaikan oleh As-Suyuthi. Dalam “Al-Hawi Li Al-Fatawi”, beliau menolak kebolehan (orang yang junub membaca Al-Quran) orang junub membaca surah Al-Kahfi meskipun tidak diniatkan untuk tilawah.
Menurut beliau, hal tersebut (orang yang junub membaca Al-Quran) tidak bisa diterima, tidak mungkin ada (tidak ada tashawwurnya) orang yang membaca satu surah penuh tanpa meniatkannya untuk tilawah.
Kalau sekadar potongan ayat, yang ada keserupaan dengan kalam manusia, seperti: يا يحيى خذ الكتاب, atau untuk tujuan dzikir dan lainnya, masih bisa diterima, itu tidak ditujukan untuk tilawah. Tapi kalau satu surah penuh, tidak bisa diterima.
BACA JUGA: Jika Tidur dalam Kondisi Junub
Niat berpengaruh pada perkara yang diniatkan, jika perkara tersebut memang ada kemungkinan diniatkan dengan niat tersebut. Jika tidak ada kemungkinan tersebut, maka klaim niat tersebut tidak diterima.
Hal ini serupa dengan kasus, seorang musafir yang niat iqamah di satu tempat, namun ia sendiri terus melakukan perjalanan, tidak berhenti di tempat tersebut. Perjalanan yang ia lakukan itu, mendustakan klaim niat iqamahnya.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Al-Istidlal Bi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah ‘Inda Asy-Syafi’iyyah, karya Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Saqqaf, Halaman 269-271, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
Oleh: Muhammad Abduh Negara