SILATURAHIM atau silaturahmi, sebuah kata yang akrab dengan kita. Tapi seringkali keakraban itu membuat kita lalai untuk mengenalnya lebih dalam dan berinteraksi secara efektif dan efisien. Demikian silaturahim, keakraban dengan kata ini membuat sebagian orang lupa atau bahkan enggan untuk memahaminya secara ilmiah, sehingga makna dan nilai substantif dari kata ini melemah dan mengaplikasikannya pun mengendur.
Kelalaian dan keengganan berinteraksi dengan terminologi silaturahim selanjutnya dapat membuat orang melupakan etika dan moralitas bersilaturahim. Bahkan dapat membuat orang cenderung meremehkan nilai-nilai moralitas dalam aktifitas “tradisional” yang dikaitkan dengan silaturahim.
BACA JUGA: Menyambung Silaturahmi
Ambil saja contoh tradisi mudik. Orang seringkali mengaitkan pulang mudik di hari raya sebagai sarana bersilaturahim dengan keluarga. Oh ya, sepertinya sah-sah saja hal itu dilakukan. Tetapi karena sebagian mereka tidak mengenal silaturahim sebagai sebuah terminologi syariah yang sarat dengan nilai dan hikmah ajaran Allah ini. Maka tidak heran kalau banyak dari mereka yang mengabaikan etika sosial dan bahkan moralitas agama dalam pelaksanaan pulang kampung atau mudik tersebut.
Penyimpangan lain dari ketidakpahaman orang terhadap makna dan nilai silaturahim ini adalah membatasi praktik silaturahim pada keluarga besar atau paguyubannya saja, tanpa peduli dengan kehidupan tetangga rumahnya yang mestinya mendapatkan porsi ajaran silaturahim itu.
Tidak sedikit pula hubungan kekeluargaan retak bahkan mungkin runtuh hancur berantakan. Betapa miris kita melihat hubungan suami istri retak atau putus karena permasalahan-permasalahan rumah tangga. Setelah orangtua meninggal dunia, tidak malu-malu anak-anaknya bersengketa dan konflik berkepanjangan dalam masalah harta waris. Kadangkala hanya karena sebuah kata-kata yang menyinggung perasaannya, para tokoh masyarakat berseteru dalam permasalahan umat.
Perkelahian pelajar, mahasiswa, tawuran antara kampung, bahkan antara masyarakat dengan aparat, dan atau perseteruan antar para politisi, persaingan “tidak sehat” antar tokoh partai atau ormas. Semua itu karena pelanggaran terhadap norma dan nilai silaturahim. Sehingga seruan reformasi hanya akan menjadi “bumerang” bagi para penggagasnya.
Silaturahim kini sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk dicermati, direnungkan dan lebih penting lagi untuk direalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa atau dalam hubungan umat Islam di persada bumi milik Allah SWT, serta hubungan antar umat manusia di mana dan kapan saja mereka berada.
Bagaimana perasaan dan apa sikap Anda jika ada seorang yang Anda yakini kecerdasannya, kepakarannya dan pengetahuannya yang luas serta kasih sayangnya kepada Anda, ia memberitahu kepada Anda bahwa Anda adalah orang yang merugi?
Allah Yang Maha Tahu, Maha Sempurna, Maha Kasih, Maha Cerdas dan Maha yang lainnya telah memberitahu kepada kita tentang orang-orang yang merugi dalam kehidupan. Siapakah mereka?
Allah SWT berfirman: “Dan tiada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menyambungnya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah: 26-27)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara orang-orang merugi adalah mereka yang memutuskan hubungan yang diperintahkanNya untuk disambung, yakni hubungan silaturahim.
BACA JUGA: Silaturahim Menghidupkan Keberkahan di Rumah
Silaturahim dengan anggota keluarga yang berasal dari satu rahim, ibu bapak saudara kandung dst. Demikian silaturahim dengan sesama muslim, bahkan hubungan dengan sesama manusia. Karena pada hakikatnya manusia saling membutuhkan satu sama lain, maka hendaknya menjalin hubungan baik.
Rasulullah saw bersabda dari Abu Muhammad Jubair bin Muth’im r.a: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan” Sufyan berkata: “yakni yang memutuskan rahim atau tali persaudaraan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya orang yang merealisasi silaturahim akan memperoleh keberuntungan seperti penjelasan Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Barangsiapa ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia bersilaturahim.” (HR. Muttafaq ‘Alaih) []
SUMBER: IKADI