Oleh : Ratna Mustika Pertiwi, SP.t
Guru Relawan
ratnamustikapertiwi96@gmail.com
KAMU yang hari ini bergelar sarjana, pendidikanmu lebih baik daripada orang tuamu yang sekolah menengah pertamapun tak lulus karena sulitnya perekonomian di tahun-tahun mereka tumbuh. Mindsetmupun juga sudah berubah pula dalam memandang kehidupan karena kamu dipertemukan dengan orang-orang sholih yang mengubahmu menjadi berorientasi kepada akhirat.
Lengkap bukan nikmatnya Allah?
Kamu di anugerahi ilmu dunia yang kemudian selaras dengan ilmu akhiratmu. Lantas hari ini kamu sudah berubah menurutmu menjadi lebih baik. Cara bicaramupun juga berubah memanggil kawanmu “ukhti” dan “akhi”. Dan kaupun di panggil mereka “ukhti-ukhti” karena jilbabmu yang panjang nan rapi, kaos kaki yang menutup dan buku-buku islami yang kau tenteng kesana-kemari.
Bicaramu sebagai aktivis dakwah kampus yang ahsan dan bersemangat membuat adik-adik kelasmu terpana, nasehat yang engkau lontarkan kepada mereka begitu diminati dan ditaati. Bahkan herannya ada yang rela pulang kuliah meminta kamu duduk disampingnya meminta padamu nasehat-nasehat.
Perubahanmu lambat laun semakin hebat, tak ada satupun yang tidak mengenalmu sebaga aktivis dakwah kampus. Aktivitas kuliah yang padat, jadwal kajian yang juga beriringan serta kurang baiknya manajemen waktumu membuat kamu sibuk hingga berbulan-bulan tak pulang ke rumah.
Sesekali kamu menelfon orang tuamu bertanya kabar dan meminta transferan uang untuk kamu menyambung hidup di kota. Tak jarang orang tuamu bertanya “kapan kamu pulang ibu bapak kangen?” kamu hanya bisa memberi janji-janji yang jarang bisa ditepati.
Sering ibu dan bapak menasehati “kuliah yang sungguh-sungguh ya nduk, supaya nanti kamu bisa dapat kerja yang bagus nggak seperti ibu dan bapak”. Jawabmu hanya “insyaallah iya pak” namun dalam hati bergumam “Ya Allah kenapa bapak ibu terlalu matrealistis, tidak ada sebuah pesan kecuali diminta untuk bekerja setelah lulus kuliah”.
Lambat laun waktu berjalan, empat tahun lamanya kamu kuliah dan hari ini resmi mendapatkan gelar yang selama ini kau idam-idamkan. Menjadi seorang sarjana seperti tak pernah terbayangkan, anak pinggiran bisa sekolah tinggi di universitas favorit sampai menjadi seorang sarjana. Ibu bapakmu semakin bersemangat tak sabar menunggumu mendapatkan pekerjaan yang bagus. Sampai akhirnya Allah berkata lain, kamu gagal disetiap tes dan interview dihampir 100 perusahaan. Subhanallah.
Hatimu hancur dan mulai menyalahkan keinginan kedua orang tuamu yang menggebu ingin kamu bekerja dan kamu pandang sangat matrealistis. Tak jarang kamu memekik tajam kepada mereka “Sudahlah bapak ibu itu jangan matrealistis, hidup itu untuk ibadah buk pak jangan semua dikaitkan dengan uang.”
Pertengkaran hebat setiap hari kau lewati dengan orang tuamu, gaya bicaramu yang ahsan dan memukau tak nampak sama sekali di depan orang tuamu. Didepan mereka kamu dipandang hanya anak yang keras kepala dan kasar, kekecewaan di dalam raut wajah mereka nampak sangat mendalam entah sedalam apa sakit hati mereka karena lisanmu yang tajam dan seperti tak tahu bagaimana cara menghormati orang tua.
Lantas kau mulai diam membisu selama hampir satu minggu di kamar, hanya menangis dan memohon petunjuk kepada Allah sembari kau lihat aktivitas kedua orang tuamu yang tak pernah berhenti bahkan istirahatpun jarang.
Berbulan-bulan kau menghabiskan waktu di rumah dan sampai datang hari ini kau mulai mengerti mengapa mereka ingin sekali kamu bekerja, bukan bukan karena matrealistis tetapi karena mereka ingin kamu tidak sengsara lagi seperti mereka sekarang yang serba kekurangan.
Bapakmu hanya seorang pedagang kecil yang pendapatannya juga tak menentu, ibumu hanya ibu rumah tangga yang tak berpenghasilan, menyisihkan uangnya setiap hari untuk membayar SPP mu yang hampir menyentuh angka 4 juta setaip setiap semesternya.
Bila mereka tak sayang kepadamu apakah mungkin mereka rela mengurangi jatah makan dan kehidupan mereka untukmu dan kuliahmu?
Coba amati kembali ibumu yang lebih dulu bangun sebelum kamu bangun untuk sholat tahajud, air matanya menetes mendoakanmu setiap hari agar menjadi anak yang berbakti nan membanggakan, ayahmu yang setelah subuh sudah berangkat bekerja sampai tengah malam baru sampai di rumah, rela memeras keringat demi kebahagiaanmu.
Lantas apakah kamu masih berpikir bahwa mereka itu matrealistis kawan?
Memang benar kamu sudah berubah, mindsetmu tentang kehidupan sudah berubah tak lagi mengejar dunia, namun apakah kamu sudah coba bicara dari hati ke hati kepada mereka tentang apa yang kamu pilih saat ini? Apakah juga kamu sudah bertanya kepada mereka apa sebenarnya yang diinginkan dari anaknya yang telah bergelar sarjana ini?
Coba pikirkan dalam hatimu bukankah kamu dulu sibuk dengan aktivitasmu sendiri dan seakan membisu di hadapan orang tuamu? Maka jangan mudah menjudge mereka matrealistis, mereka hanya ingin kamu bahagia melalui perspektif mereka.
Yang kamu butuhkan hari ini hanya perbaiki sikapmu didepan mereka dan bicaralah dengan penuh makna menyamakan perspektif kebahagiaan yang benar. Bahwa kebahagiaan itu bukan hanya terletak pada jumlah materi yang didapat tetapi kebahagiaan sesungguhnya ketika segala aktivitas kita di ridhoi oleh Allah.
Cobalah dengarkan orang tuamu, amati aktivitas mereka yang tak pernah berhenti, sesekali bantu kesusahan mereka di rumah dan cobalah beranikan lisanmu berbicara heart to heart dengan mereka. Mintalah pertolongan dari Allah, berdoalah diwaktu yang mustajab agar mereka melunak hatinya dan memahami pilihanmu.
Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad 28276, Turmudzi 2022, Ibn Majah 3794, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Wallahu’alam bishawab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word