Oleh: Nasrulloh Baksolahar
nasrulloh.mu@gmail.com
DALAM hukum-hukum Allah terdapat tanda-tanda kebesaran Allah dan rahmat-Nya. Inilah orientasi besar fiqh. Mengapa dalam mempelajari dan menerapkannya terperosok pada siapakah yang dalilnya paling benar dan lemah? Siapa yang tak sesuai dengan sunah dan paling sunah? Siapa yang bidah?
Hukum Allah berorientasi untuk menjaga agama, darah, keturunan, akal dan kehormatan. Dari semuanya yang diperdebatkan, manakah yang paling dekat dengan tujuan tersebut? Fiqh itu untuk memberikan solusi kemudahan di setiap zaman dan tempat dengan pondasi Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Bukan berdebat tentang dalil dan argumen yang paling benar dan kuat, bila tujuannya sampai disini, untuk apa para ulama mengembangkan ilmu ushul fiqh dan maqasid syariah?
BACA JUGA: Mengapa Nabi Terakhir dari Bangsa Arab?
Hukum Allah untuk mensucikan hati dan penghambaan diri kepada Allah. Arahkan pembahasan hukum Allah kepada kesadaran akan rasa syukur dan memuji Allah atas hikmah kebaikan dan penghindaran dari keburukan dan kejahatan dari hukum yang ada, bukan dibawa ke ranah perdebatan dan perselisihan.
Pembahasan ragam mazhab fiqh harus dibarengi dengan kondisi zamannya, realitas yang tengah dihadapi saat itu, kondisi wilayahnya, kondisi kesulitan yang tengah dihadapinya, lalu kaitkan dengan dalil yang menjadi rujukan hukum. Dari sini masyarakat tahu mengapa timbul aneka ragam mazhab. Jangan hanya sekedar kekuatan dalilnya saja.
Setiap wilayah berpegang pada mazhab fiqh tertentu. Setiap kekhalifahan dan kesultanan menjadikan mazhab fiqh tertentu dalam membimbing masyarakat, sistem pemerintahan dan hukum. Mengapa wilayah dan kesultanan tertentu mengambil mazhab tertentu? Ini yang perlu dikaji, agar paham mengapa wazir atau qadi di kesultanan menetapkan pada mazhab tertentu.
BACA JUGA: Memprediksi Nasib Yahudi di Palestina dari Sejarahnya Sendiri
Mengapa Nusantara lebih banyak dipengaruhi Mazhab Syafii hasil fatwa Imam Syafii saat di Mesir bukan di Baghdad? Perhatikan kondisi wilayah dan karakter kesultanan di Mesir dengan Nusantara, apakah ada kemiripan? Ini yang harus dikaji lebih mendalam. Bukan terjebak pada meributkan kebenaran dalil. Sebab dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw sudah diuji oleh para ulama Al-Qur’an dan Hadist.
Seharusnya tentang kesahihan dalil dan ragam perbedaan pendapat sudah tuntas. Jadikan semuanya sebagai yurisprudensi hukum. Sekarang hanya tinggal, bagaimana persolan masyarakat dunia diselesaikan dengan khazanah hukum yang telah dimiliki umat Islam dari para pendahulunya? []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.