Oleh: Shela Rahmadhani
Praktisi Pendidikan STP SD Khoiru Ummah Sleman
IBU sebagai pendidik, itulah tugas mulia perempuan. Ibu rela mengeluarkan apapun agar anaknya menjadi orang yang pandai dan memiliki ilmu.
Penulis menemukan sebuah cerita yang sangat luar biasa tentang seorang ibu yang sangat peduli dengan ilmu anaknya. Dan, cerita menjadi menarik karena ada kontradiktif antara hasrat dan semangat ibu dengan pendeteksian kondisi anak tersebut.
Alkisah, tersebutlah Ibu Zenab dengan anaknya yang berusia 5 tahun, namanya Zenal.
BACA JUGA: Bunda, Ini Kiat Ampuh Cegah Anak Kecanduan Gawai
Bu Zenab ingin sekali anaknya yang usia 5 tahun itu pinter ngaji Al-Qur’an, sehingga ia harus mendatangkan guru les iqra’ dari luar. Guru iqra’ itu adalah Bu Dina.
Cerita pun dimulai.
Bu Dina datang untuk pertama kalinya ke rumah Bu Zenab, dan mengaji iqra’ dimulai. Si anak lalu, minta didampingi orangtuanya.
Zaenal: “Bunda, temenin Zenal ya?”
Bu Zenab: “ia, bunda temenin, tapi ngajinya yang bener ya?”
Kemudian disanggah oleh Bu Dina.
Bu Dina: “Ehmm.. Zenalnya mau ditemenin ngajinya Bu?”
Bu Zenab: “Ia… Mungkin karena pertama kali Bu.”
Bu Dina: “Sebaiknya tidak usah ditemenin Bu, dibawain aja mainan, entar kalau ngaji udah mulai penat, saya suruh main dulu.”
Bu Dina: “Oh gitu?”
Akhirnya, hari pertama Zenal tidak ditemani Bu Zenab.
Selama mengajar Bu Dina merasakan dan mulai memahami kondisi Zenal. Semangatnya bagaimana, lama konsentrasinya, kecerdasannya,, dan dia suka diperlakukan seperti apa.
Ternyata Zenal adalah anak yang pintar, tapi konsentrasinya 15 menit. Banyak bicara, periang, suka tantangan, suka ngaji yang ringan-ringan. Kalau ngaji yang berat dia harus rileks dan pelan pelan.
Beberapa hari belajar ngaji dengan Bu Dina, Zenal tiba tiba mengulah. Dia ingin ditemenin ibunya. Akhirnya permintaan dia pun dituruti.
Klimaksnya kisah ini pada momen ini, dimana Zenal kesulitan membaca bagian iqra yang sudah mulai jelimet alias sulit.
Seperti biasa, kalau sudah sulit, diapun ogah-ogahan dan mulai banyak bicara yang untuk mengalihkan ketidak-bisaan dia. Kadang-kadang tertawa yang tidak ada sebab.
Sebenarnya itu cara Zenal untuk tetap rileks dengan bacaan yang sulit. Namun, Bu Zenab menangkap seperti Zenal tidak serius dalam ngaji. Dan Bu Zenab mulai sebel dan menahan emosi.
Namun, Bu Dina masih terus menghimbau Zenal agar tetap fokus dan mencoba membantu agar Zenal bisa mudah melewati kesulitan dia. Caranya adalah dengan mengeja huruf per huruf dulu sebelum dibaca secara cepat dan menyeluruh.
Namun, Zenal masih terus seakan bermain dan ogah-ogahan, kadang-kadang ia sedikit menoleh ke arah halaman iqra itu karena Bu Dina terus mengatakan, “Mas Zenal, ayo dicoba sedikit dulu, yuk,, kita eja yuk per huruf, supaya mudah, tapi syaratnya harus penglihatan mas Zenal harus ke iqra’ ya, kalau ke pesawat (mainan Zenal), nanti mas Zenal enggak faham apa yang dibaca.”
BACA JUGA: Wahai Khalifah Umar, Aku Rindu Anakku
Zenal pun mulai, mengeja dibantuin Bu Dina. Namun, karena itu memang sulit dan ada Bu Zenab, akhirnya ia ogah-ogahan, dan ketawa-ketawa tanpa sebab lagi seakan menunjukkan tidak serius kembali.
Bu Dina menangkap, ada rasa malu Zenal kepada Bu Zenab juga, karena dia tidak bisa lancar membaca. Sehingga Zenal terus tertawa untuk menutupi rasa malunya.
Bu Zenal pun emosinya mulai full, kemudian mulai mengeluarkan ancaman.
Bu Zenab: “Ayo dibaca, dilihat, pelan-pelan juga gak papa! (nada mulai tinggi)
Zenal: .hihihi.. haha… (sambil kayak nyepelein gitu)
Bu Zenab sudah tidak ada senyum di wajah dan kemudian mengeluarkan nada tinggi.
Bu Zenab: “Mas Zenal, ayo dibaca. Yang serius mas Zenal. (Bu Zenab pun penglihatan nya ke Zenal sangat tajam).
Zenalpun mulai takut dan tidak berani becanda-becanda dan ketawa lagi dan Bu Zenab berkata:
“Ayo baca!”
Zenal melihat ke iqra’, namun tidak membaca, tapi seperti mulai berfikir. Sebenarnya Zenal memang benar-benar kesulitan pada bacaan yang itu, bukan karena ogah belajar.
Bu Zenab: “Ayo dibaca!”
Tiba tiba Zenal ngomong dengan ‘suara membentak’.
“Bentar! Inikan lagi belajar!”
Bu Zenab pun langsung terdiam dengan penuturan Zenal.
Bu Dina kemudian bergumam di hati terhadap kemarahan Bu Zenab, “Bun.. fahami dulu kondisi mas Zenal, baru marah.”
Demikianlah ceritanya. Zenal bukan tidak mau belajar, sebenarnya dia itu tengah kesulitan. Jika bacaan yang mudah dan ringan, biasanya Zenal semangat dan antusias.
Belum lagi ketika itu, ia menanggung malu karena tidak bisa baca di depan Bu Zenab. Jadi, dia ogah-ogahan dan tertawa tidak jelas. Untuk menutupi kepenatan dan kesedihannya karena gak bisa baca.
Jadi, pahamilah kondisi orang lain, sebelum mengeluarkan penilaian, kata-kata, perintah-perintah, bahkan ancaman-ancaman.
Setelah kita faham kondisinya, maka berikanlah treatment yang tepat.
Itulah yang dilakukan Bu Dina. Mengenali Zenal, cara belajarnya, kondisi kecerdasannya, bagaimana ia mempertahankan eksistensi dan haibahnya ketika terpojok. Setelah itu yang terpenting setelah membaca kondisi anak adalah memberikan treatment yang tepat. Wallahu a’lam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.