INI kisah nyata. Saya punya tetangga. Sebut saja namanya Pak Amran. Entah bagaimana awalnya, ia secara diam-diam dijadikan bahan omongan oleh lingkungan sekitar. Yang diomongin: dia menjual murah rumahnya yang pinggir jalan.
Orang bilang, ia terjerat utang pada rentenir. Katanya lagi, jumlah utangnya 200 juta, sama dengan harga jual rumah tersebut.
Cerita itu terus berkembang. Bahkan mungkin sampai kini. Siapa yang memulai tidak jelas. Sampai suatu waktu, sahabat saya bilang, bahwa dialah yang membeli rumah Pak Amran itu.
BACA JUGA:Â Suami Istri Ngobrol
“Rumah itu dijual 200 juta ke saya. Dicicil selama 4 kali. Selama 2 tahun. Uang penjualannya, dipakai untuk biaya kuliah anaknya,” ujar sahabat saya itu. “Setiap awal semester, Pak Amran meminta uang rumah pada saya, untuk biaya kuliah anaknya itu. Ia menolak kalau harus saya lunasi karena takut terpakai.
“Sebagian ia siapkan untuk membuat rumah baru yang kecil untuk ia dan istrinya. ‘Asal anak saya bisa lulus kuliah,’ begitu ujar Pak Amran.”
Saya menyimpan cerita ini bersama istri. Saya tentu saja percaya sama sahabat saya. Hingga kini, rumah itu masih dihuni oleh Pak Amran atas kesepakatan dua belah pihak sampai anaknya lulus kuliah.
Ada dua pelajaran yang saya ambil dari situ.
Pertama, saya kagum luar biasa kepada Pak Amran. Ia mempersiapkan pendidikan anaknya sedemikian rupa, tak mengapa bahkan sampai jual rumah segala.
Kedua, saya kasihan pada orang-orang yang menyebarkan berita burung soal rumah Pak Amran. Aneh orang-orang ini. Mereka menyinyiri Pak Amran tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya, tanpa pernah bertanya langsung pada Pak Amran, dan tanpa tahu apa kegunaannya buat mereka.
Mereka bantu Pak Amran aja nggak. Yang ada mereka menyelisihinya.
BACA JUGA:Â Nasi Goreng
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana pertanggungjawaban mereka di akhirat kelak. Menyebarkan sesuatu yang jauh di luar kebenaran. Mereka jatuh dalam dua hal yang tak ada satupun kebaikan di dalamnya: jika benar, mereka berghibah. Dan nyata salah, mereka memfitnah.
Saya beristighfar untuk saya pribadi, agar terhindar dari hal-hal tak bermanfaat seperti ini. []
GHIBAH
Saat membicarakan orang lain kamu boleh saja menambahkan bumbu lain, tapi pastikan bumbu yang baik.
Membicarakan kejelekan orang lain adalah cara licik memuji diri sendiri.
Aku sebenarnya bukan anti sosial. hanya saja aku anti ghibah.
Musibahmu bisa jadi bahan ghibah musuhmu.
Mulut diciptakan didepan supaya tidak berbicara dibelakang.
Hal yang paling menyakitkan tentang pengkhianatan adalah kenyataan bahwa itu tidak datang dari musuhmu melainkan dari kawanmu.
Mendengarkan orang yang sedang ghibah dengan sikap kagum dan menyetujui apa yang dikatakannya, hukumnya sama dengan melakukan ghibah.
Orang yang tidak suka padamu akan terus mencari kesalahanmu sambil mempengaruhi orang lain agar tidak menyukaimu.
Membicarakan, merendahkan atau menyakiti perasaan orang lain tidak akan pernah bisa memuliakan pribadi kita. Justru malah sebaliknya..
Kurangi ghibah, perbanyak beribadah.
Umbar saja terus kesedihanmu agar jadi bahan ghibah orang-orang yang membencimu.
Membicarakan keburukan orang lain tidak akan membuatmu terlihat hebat.
Cermin selalu tidak terlihat ketika kalian membicarakan orang lain.
Alangkah baiknya orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tak mengurusi/membicarakan aib orang lain.
Bisa jadi asyik ghibahin orang lain namun tanpa sadar kalau dirinya juga jadi bahan ghibah di tempat lain.
Ghibah hanya terasa begitu nikmat untuk orang yang sangat suka mengurusi kehidupan orang lain.
Jika hidup anda kelebihan ghibah, Cobalah untuk menambah kadar introspeksi. Agar daya tahan seimbang.
Beberapa orang kadang terlihat peduli dengan masalahmu. Walaupun pada akhirnya tetep berakhir jadi bahan ghibah. []