Oleh: Aruum Rumiatun S.Pd.
Guru Sekolah Menengah Atas Kab. Tuban Jatim
SESAK, hati ini sungguh sesak. Ada gemuruh di dada, ada banyak mata berkaca-kaca kemudian memendam lara saat mendengar berita duka saudara seperjuangan di pulau sebrang sana, Pulau Madura. Iya, siapa sangka, hari itu Kamis, 1 Februari 2018 merupakan hari terakhir Bapak Ahmad Budi Cahyono, seorang guru Honorer di SMAN 1 Torju Sampang Madura menjalankan tugasnya sebagai pengajar. Hari itu, siapa sangka merupakan akhir hidupnya.
Beliau menutup usia di saat usia masih muda serta meninggalkan istri tercinta yang kabarnya tengah hamil empat bulan lamanya, sungguh tega. Bukan Pak budi yang tega, tapi dia yang melukainya. Siapa? Ah, ternyata muridnya. Murid Pak Budi sendiri yang melakukan penganiayaan hingga membuat beliau harus dilarikan ke rumah sakit sampai akhirnya dinyatakan meninggal dunia.
Berawal dari teguran “mesra” Pak Budi ternyata menyulut amarah si murid kemudian tega memukul gurunya sendiri, guru yang selama ini memberikannya ilmu. Tidak cukup berhenti di situ. Sepulang sekolah,beliaupun dicegat untuk kembali dianiaya sampai akhirnya mengalami luka serius di bagian kepala. Inalillahi, sungguh saya hampir tak percaya membaca berita ini. Tapi apa daya, ternyata begitulah faktanya. Seorang Murid tega menganiaya gurunya sendiri hingga berujung maut. Ada apa ini ?
Ilustrasi di atas bukanlah susunan kalimat retorika yang penuh hiperbola, tapi ini adalah ungkapan hati kami, para guru Indonesia. Kasus penganiayaan (baca: perlawanan) seorang murid pada guru tidak hanya terjadi sekali ini saja. Sebelumnya, banyak kasus yang pernah hadir di hadapan kita. Masih ingat, kasus penganiayaan yang dialami Bapak Dasrul pengajar SMKN 2 Makasar yang sempat membuah heboh dunia pendidikan, begitupun beberapa waktu lalu, seorang guru agama yang mengingatkan siswanya untuk menunaikan shalat namun berujung pidana terhadap Sang guru. Serta masih banyak kasus-kasus yang lainya. Dan Lagi-lagi, guru Indonesia menjadi korban.
Sudahlah Cukup, Berhentilah Sampai Pak Budi
Bergantinya kurikulum pendidikan ternyata tidak berpengaruh signifikan pada karakter pelajar. Perubahan Kurikulum pendidikan yang diharapkan mampu membawa pelajar bermoral faktanya tidaklah demikian. Kriminalitas yang dilakukan para pelajar semakin hari semakin mengenaskan. Seperti tawuran pelajar, pemakaian narkoba dan minuman keras, pergaulan bebas sampai yang lebih tragis penganiayaan yang berujung pembunuhan. Mereka, para pelajar ini sudah tidak lagi melihat kepada siapa melakukan. Dapat dikatakan para pelajar ini sudah dalam tahap darurat moral. Hingga akhirnya tega dengan sengaja ataupun tanpa sengaja melakukan penganiayaan kepada gurunya sendiri.
Perlu disadari saat ini para pelajar kita telah kehilangan sosok teladan. Mereka mengalami kebingungan dalam mencontoh perilaku serta karakter yang dituntut dalam dunia pendidikan. Karakter jujur, bertanggung jawab, disiplin, menghargai, menghormati orang lain serta karakter baik lainnya yang seharusnya mereka contoh sulit mereka dapatkan dalam lingkungan sekitar. Jikalaupun ada, hal itu hanya segelintir saja dari beberapa orang tua dan lingkungan yang mendukung. Pasalnya, sebagian besar lingkungan pergaulan, arus media dan informasi tempat di mana para pelajar ini banyak menghabiskan waktunya justru bertentangan hal tersebut. Lihatlah tontonan di media elektonik seperti televisi ataupun internet. Semua mendorong remaja melakukan kebebasan. Apakah itu kebebasan bergaul, bertingkah, berucap, bersikap ataupun yang lainnya. Hasilnya, jadilah mereka para pelajar yang kebingungan dengan jati dirinya.
Di lain sisi para guru kini telah di renggut haknya untuk mendidik. Tugas guru hanya sebatas mengajar, hanya sebatas mentransfer ilmu tanpa diberikan “kemampuan” untuk mendidik muridnya. Jikalau para guru kini ingin bahkan sangat ingin mendidik muridnya untuk menjadi murid yang berkarakter, akan tetapi hak itu telah dirampas atas nama HAM, atas nama Perlindungan Anak, atas nama tidak boleh menggunakan kekerasan dalam mendidik dan lain sebagainya. Padahal melalui “teguran lembut” para guru inilah yang akan mewujudkan tujuan kurikulum pendidikan kita, yakni mencetak pelajar yang bermoral dan berkarakter. Dan lihatlah hasilnya kini, ketika hak mendidik guru dimandulkan, yang ada adalah kemirisan moral pelajar yang kian merosot dan semakin terseok memprihatinkan.
Sudahlah cukup, berhentilah sampai Pak Budi. Sampai kapan kita akan menyadari bahwa ada yang salah di negeri ini. Ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Ada yang salah dalam sistem informasi dan media. Ada yang salah dalam sistem pergaulan dan ekonomi. Pun demikian ada yang salah dalam sistem hukum kita. Kita harus berani menyadari ada yang salah dalam semua sisi kehidupan kita. Sistem hidup kita yang ternyata sangat jauh dari aturan Sang Pencipta. Ketika akhlakul karimah tidak lagi menjadi ukuran kecerdasan, ketika tuntunan hidup (baca:Al-Qur’an) hanya dijadikan penilaian belakangan, ketika manusia pilihan menjadi teladan nomor yang kesekian, ketika kesuksesan diukur dengan capaian materi bermiliyaran, dan ketika agama dijadikan bahan seremonial tanpa makna dalam kehidupan. Maka, tinggalah nama Pak Budi tertulis di batu nisan karena tugasnya mengajar.
Kami atas nama guru Indonesia, demi Allah kami tidak ridha atas kasus yang menimpa Pak budi. Bukan semata karena teman seprofresi tapi lebih dari itu, beliau adalah seorang guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang seharusnya didahulukan haknya. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya?
Atas nama guru Indonesia, demi Allah kamipun tidak ridha jikalau kasus ini tidak membuka mata hati para steakholder yang berkuasa untuk segera menindaklanjuti dan menjadikannya fokus utama. Dan demi Allah, kami pun tidak ridha, jikalau kami harus memberikan ilmu pada para murid yang tidak bisa menghormati dan menghargai gurunya. Bukan semata karena gila hormat, lebih dari itu kami hanya ingin mengajari mereka untuk menghargai ilmu. Bukankah berkahnya sebuah ilmu karena rasa hormat kepada orang yang memberikan ilmu? Siapapun itu. Jikalau para guru ini sudah tidak ridha, kemana lagi generasi bangsa ini akan berguru? []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.