DI kebun milik Pak Tani, terdapatlah berbagai macam pohon buah-buahan. Mulai dari Tomat, Apel, Anggur, Stroberi, Semangka, Nenas, Jambu, Bengkuang, Mentimun, dan lainnya. Termasuk juga si Buah Mengkudu.
Semua buah-buahan itu senang sekali berada di kebun Pak Tani karena mereka dipelihara dengan baik. Karenanya, semua mereka menjadi buah-buahan yang segar dan cantik. Setiap orang yang melihat mereka, pasti akan memuji dan juga menyenangi buah-buahan itu. Karena itu pula, hampir semua buah-buahan itu satu sama lainnya saling membanggakan diri mereka.
“Lihatlah aku,” kata Buah Apel. “Aku selalu terasa manis dan kulitku memancarkan cahaya yang segar. Setiap orang ingin memetik dan memakanku.”
“Betul, aku setuju.” Buah Semangka menimpali. “Tapi aku juga tidak kalah manisnya denganmu, Apel. Aku juga selalu diinginkan oleh orang-orang.”
“Aku sih memang tidak semanis kalian,” ujar Buah Tomat, “Tapi rasaku yang bercampur antara manis dan sedikit asam juga sangat disukai oleh orang-orang. Setiap hari, anak Pak Tani memetikku. Aku juga berbuah hampir tiap hari, sedangkan kalian semua hanya berbuah musiman….”
Begitulah, berturut-turut semua buah membanggakan diri mereka sendiri. Tapi apakah semuanya? Oo, ternyata tidak. Setiap kali semua buah sedang berkumpul, Buah Mengkudu memisahkan diri. Kenapa?
“Tampaknya teman-temanku tidak menyukaiku. …” Buah Mengkudu berkata dalam hati. “Aku ini mengeluarkan bau yang tidak sedap. Rupaku tidak menarik. Aku memang tidak seperti mereka. Tidak ada orang yang menginginkanku.”
Setiap hari Buah Mengkudu semakin menjauhkan diri dari teman-teman buahnya. Sementara itu, buah-buahan yang lainpun tampaknya tidak peduli dan bahkan senang sekali Buah Mengkudu memisahkan diri dari mereka.
“Lebih baik sih begitu,” ujar Buah Arbei, “Ia hanya membuat lingkungan sekitar kita menjadi bau.”
“Rupanya tidak menarik.”
“Tubuhnya juga terlalu besar. Kebun kita jadi sempit hanya karena tubuhnya saja.”
“Tampaknya, ia pun sama sekali tidak berguna.”
Buah-buahan yang lain pun setuju dengan komentar-komentar itu. Setiap hari mereka membiarkan Buah Mengkudu sendirian. Tidak ada yang mau menjadi temannya.
Pada suatu hari, Pak Tani mendatangi kebun itu. Ia tampaknya mencari-cari sesuatu, “Wah, dimana ya letaknya? Aku sudah tidak begitu ingat lagi dimana dulu menanamnya.”
Semua buah-buahan saling berebutan untuk bisa dilihat oleh Pak Tani. Mereka masing-masing ingin dipetik oleh Pak Tani. “Petiklah aku! Petiklah aku!” begitu mereka berteriak.
Tapi Pak Tani mengacuhkan mereka. “Ini Apel, ini Anggur, Semangka, Kelapa, Pepaya, … bukan ini yang kucari.”
Buah-buahan itu tampak kecewa. Siapa gerangan yang dicari oleh Pak Tani? Mereka menjadi sangat penasaran. Akhirnya Pak Tani sampai di tempat Buah Mengkudu.
“Nah, ini dia, ternyata kau ada di sini, Mengkudu!” teriak Pak Tani girang.
Buah Mengkudu terkejut bukan buatan. Pak Tani mencarinya? Ada apa? Begitu juga dengan buah-buahan yang lain. Pak Tani mencari Buah Mengkudu, apa tidak salah?
Tapi Pak Tani memang benar-benar memetik Buah Mengkudu. “Terima kasih, kau masih berbuah dengan bagus, Mengkudu.” ujar Pak Tani, “Kau memang tidak menarik dan tubuhmu sedikit bau, tapi tahukah kau, bahwa kau sangat dibutuhkan karena kau mempunyai manfaat yang sangat besar? Istriku sedang menderita penyakit, dan sekarang membutuhkanmu sebagai obatnya.”
Mata Buah Mengkudu berbinar-binar mendengar perkataan Pak Tani. Selama ini ia tidak menyangka kalau ia juga mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh buah-buahan lainnya di kebun itu. Ia pun tersenyum. Sementara buah-buahan yang lain tertunduk, merasa malu karena selama ini selalu meremehkan Buah Mengkudu. []