JAKARTA—Pencalonanan dalam pemilu, khususnya pemilu kepala daerah (pilkada), ditenggarai kerap diawali serah terima imbalan atau yang biasa disebut mahar politik.
Kasus La Nyalla adalah salah satu yang paling kontroversial. Ia mengaku dimintai uang puluhan milyar rupiah oleh salah satu partai politik apabila ingin dicalonkan dalam bursa Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018.
La Nyalla bahkan menyebut telah mengeluarkan uang sebesar Rp 5,9 Miliar dan cek senilai Rp 70 Miliar. Uang dan cek tersebut disebut-sebut telah diserahkan kepada Ketua DPD Gerindra Jawa Timur Supriyanto dan cek akan bisa dicairkan apabila surat rekomendasi Partai Gerindra untuknya terbit.
“Melihat fenomena itu, perlu diingatkan kembali bahwa saat ini UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah melarang pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan antara partai politik dan bakal kandidat,” kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil kepada Islampos.com di Sekretariat ICW Jalan Kalibata Timur IV D No. 6, Jakarta Selatan Selasa (16/1).
Menurutnya, Larangan dan sanksi dalam Pasal 47 UU Pilkada yang telah diterapkan sejak Pilkada serentak 2015 pun belum mampu membongkar praktik jual beli dukungan tersebut.
“Padahal, ancaman sanksi tergolong berat, baik bagi partai politik selaku penerima dan bakal calon selaku pemberi,” pungkasnya.
Ia menambahkan, apabila terbukti dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, penetapan sebagai pasangan calon dibatalkan.
“Partai politik bahkan terancam tidak bisa mengikuti pilkada periode selanjutnya. Progresifnya, ketentuan tersebut tidak melihat apakah pemberi imbalan jadi dicalonkan atau tidak oleh partai politik,” terangnya. []
Reporter: Rhio