Pakar Pendidikan sekaligus Guru Besar Bimbingan Konseling UPI Prof.Dr.Sunaryo Kartadinata mengingatkan, yang lebih mendasar dalam pelaksanaan pendidikan saat ini adalah Pendidikan Penguatan Karakter (PPK). Hal ini disampaikan Sunaryo saat ditanya mengenai kebijakan yang disahkan pemerintah baru-baru ini mengenai Full Day School (FDS).
“Jika misalnya FDS dan sekolah lima hari dijadikan sebagai suatu wahana yang memungkinkan siswa lebih lama tinggal di sekolah, maka yang harus dilakukan adalah bagaimana PPK itu terlaksana,” ujar Sunaryo saat diskusi dengan perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kominfo BEM Rema UPI, Rabu (31/8/2017).
Sunaryo menuturkan, jika selama ini pembelajaran terlalu fokus pada materi pelajaran, tugas-tugas, tes-tes, dan silabus, maka dari itu FDS adalah proses atau suasana yang berusaha menumbuhkan perilaku tertentu. Seperti perilaku jujur, sopan santun, berujar baik, kerja keras, tanggung jawab, yang ditumbuhkan di sekolah. Sehingga menjadi tanggung jawab guru untuk membangun suasana pembelajaran yang dapat menumbuhkan semua perilaku tersebut. Karena itu tidak bisa diceramahkan, namun harus banyak dimunculkan dalam bentuk atmosfir, iklim yang pada akhirnya menjadi budaya sekolah.
“Di masyarakat, isu yang diperdebatkan soal FDS dan sekolah lima hari, padahal itu sebagai implikasi saja. Sedangkan isu yang paling mendasar dan perlu dikaji lebih jauh adalah mengenai PPKnya. Jadi yang sekarang dipertanyakan adalah, jika FDS diterapkan, apakah proses penguatan karakter akan terjamin dapat terlaksana? Begitu pula, apakah tanpa FDS, penguatan karakter tidak dapat ditumbuhkan? Tentu tidak seperti itu,” ujarnya.
“Jadi pada intinya yang harus diubah saat ini bukan jumlah hari sekolah, bukan jam sekolah, karena itu hanya implikasi saja. Melainkan suasana, iklim, atmosfir dan budaya sekolah yang harus dibangun, sehingga penguatan karakter tersebut dapat terlaksana,” tegasnya.
Menurut Sunaryo apabila Guru mengajar dengan cara yang menegangkan, membangun kecemasan dan tidak menimbulkan motivasi maka akan sulit siswa betah di sekolah. Jangan dibayangkan bahwa FDS adalah siswa belajar seharian suntuk sehingga pikiran dan tenaganya terkuras, bukan seperti itu.
“Maka dari itu, yang harus ditekankan jika FDS ini dilaksanakan adalah anak tidak boleh diberikan pekerjaan rumah (PR), siswa harus dibebaskan dari segala beban dari sekolah, biarkan anak belajar secara mandiri,” lanjutnya.
Disinggung soal isu perbedaan pendapat anatara dua ormas besar di Indonesia, Sunaryo menyatakan yang harus dibangun saat ini adalah kerja sama dan kolaborasi. Bagaimana caranya keduanya dapat berkolaborasi dalam mengembangkan penguatan pendidikan karakter. Sebagai contoh, pada jam tertentu anak tidak mesti belajar di sekolah. Bisa saja mungkin sekolah mempersilahkan anak pada waktu duhur untuk berangkat ke Madrasah Diniyah. Jadi bagaimana caranya program di Madrasah Diniyah pun dapat dikoorporasikan supaya mendukung penguatan pendidikan karakter. Di Madrasah Diniyah atau Pesantren sangat kental sekali dengan nilai-nilai karakter seperti religius, gotong royong dan kebangsaan. Namun sekarang diupayakan supaya penguatan nilai-nilai karakter itu dapat lebih tajam dan terdapat kolaborasi.
Sunaryo sekali lagi menegaskan bahwa yang perlu dikedepankan adalah penguatan pendidikan karakternya, bukan FDS atau Sekolah lima harinya. Kebijakan dari pemerintah pun pelaksanaan FDS ini tidak dipaksakan, melainkan kepada sekolah yang sudah siap saja.
“Saya setuju bahwa kebijakan ini tidak harus dipaksakan, namun yang harus diupayakan adalah penguatan pendidikan karakter” tutupnya. []
Reporter: Dini Sri M-Dirjen Komunikasi BEM Rema UPI