PAKEM adalah hal yang harusnya dipatuhi. Sebab jika dilanggar, akan menjadi sesuatu yang tidak lagi menarik atau bahkan dianggap cacat. Salah satu contohnya adalah masalah tahqiq. Secara bahasa, maknanya; tashdiq (pembenaran), atau ucapan yang benar, atau penetapan.
Adapun di dalam dunia penerbitan buku, tahqiq adalah: Upaya untuk menyuguhkan sebuah kitab dalam kondisi yang benar sebagaimana diletakkan oleh penyusunnya, baik dari sisi kadar ataupun keadaannya.
Maka kitab yang muhaqqaq adalah sebuah buku yang telah mengalami proses penelitian sehingga validitas judul, matan (isi), dan penisbatan kepada pengarangnya dapat dipertanggunjawabkan. Buku dapat diterbitkan sesuai atau minimal mendekati kondisi dan gambaran yang diinginkan oleh penyusunnya.
Orangnya dinamakan muhaqqiq. Biasanya, istilah ini digunakan dalam proses penerbitkan sebuah karya ilmiyyah terutama kitab-kitab turats (warisan ulama tempo dulu). (Dr. Mahmud Ath-Thinahi)
BACA JUGA: Iman kepada Kitab Allah SWT
Secara umum, aktifitas tahqiq sesuai pakemnya akan berkisar seputar hal-hal berikut, yaitu;
(1). Mentahqiq judul kitab,
(2). Mentahqiq nama pengarang,
(3). Mentahqiq penisbatan kitab kepada pengarangnya,
(4). Mentahqiq matan (isi) kitab dengan cara mengomparasikannya dengan berbagai makhtuthah (naskah tulisan tangan) yang mu’tamad.
(5). Mentakhrij hadis-hadis yang disebutkan dari sumber-sumber primernya,
(6). Memberikan keterangan validitas sebuah hadis dengan menukil hukum-hukum para ulama tempo dulu (mutaqaddimun),
(7). Memberikan keterangan tentang nama surat dan nomor ayat, dan (Memberikan tambahan-tambahan yang berfaidah yang sesuai dengan misi dan visi kitab tersebut. (disadur dari kalam Dr. Mahmud Ath-Thinahi dengan sedikit tambahan dan penyesuaian)
Pakem dalam Dunia Tahqiq-Mentahqiq
Ini semua merupakan pakem (aturan main) yang lazim dilakukan oleh seorang muhaqqiq ketika mentahqiq kitab. Seyogyanya rambu-rambu ini bisa dipatuhi oleh mereka yang terjun ke dunia ini.
Jika pakem ini dilanggar, atau bahkan terjadi penyelewengan yang signifikan, maka akan menjadi sesuatu yang buruk, bahkan dianggap cacat, serta akan mengotori dunia pentahqiqan itu sendiri.
Semisal muhaqqiq yang dalam tahqiqnya lebih kental nuansa rududnya (bantahannya) kepada isi kitab daripada aktifitas-aktifitas mentahqiq yang seharusnya dia lakukan. Ada yang prosentase bantahannya 25%, ada yang 50%, bahkan ada yang mencapai 75 %.
Ini lebih tepatnya bukan mentahqiq, tapi membantah. Jika memang sejak awal niatnya ingin membantah, silahkan disusun buku bantahan tersendiri saja. Ini lebih elegan.
Contoh lain, seorang muhaqqiq dipendahuluan tahqiqnya habis-habisan menguliti pengarang bukunya. Lalu diklaim bahwa pengarang bukunya sesat (walau klaimnya belum tentu benar, masih perlu untuk diuji secara ilmiyyah).
Jika memang pengarangnya sudah dianggap sesat, kenapa pula bukanya masih mau diterbitkan? Menurut hemat kami, Ini kontradiksi dan buang-buang waktu. Kenapa tidak mencari buku yang pengarang yang jelas-jelas di atas al-haq (kebenaran) menurutnya?
Pakem dalam Dunia Tahqiq-Mentahqiq
BACA JUGA: Tiga Keistimewaan Kitab Li Yatafaqqahu Fi Ad-Diin
Contoh lain, kitab fiqh mazhab Syafi’i ditahqiq oleh seorang yang tidak atau bahkan antipati kepada mazhab. Karena metodologi dan qawaid istinbathnya berbeda, tidak sedikit masalah fiqh yang ada di dalamnya dianggap ‘bermasalah’ dan marjuh (lemah). Akhirnya, kitab fiqh syafi’i yang diharapkan terbit sesuai rasa aslinya (original), justru terbit dengan rasa mazhab “tarjihi” versi muhaqqiqnya.
Apakah hal-hal semacam ini boleh dilakukan? Kita jawab; Relatif, bisa boleh dan bisa tidak boleh, tinggal dilihat dari sisi mana dan siapa. Andai saja kita katakan boleh, namun tidak setiap yang boleh itu patut untuk dilakukan. Bukan kita anti kritik, tapi ini dunia akademisi yang segala sesuatu itu ada aturan mainnya (pakemnya).
Tahqiq, syarah (penjelasan), hasyiyah (catatan), dan rudud (bantahan), kesemuanya memiliki definisi dan aturan main yang berbeda-beda. Wallahu a’lam. Terima kasih. Semoga mencerahkan. []
Oleh: Abdullah Al-Jirani