PERINTAH pemecatan itu datang tiba-tiba. Namun, Khalid menerimanya dengan lapang dada.
Di tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk perang di Irak, tiba-tiba datang surat perintah dari Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Isinya, komandan pasukan Islam, Jenderal Khalid bin Walid, diminta untuk mengarahkan pasukannya ke wilayah Syria untuk menghadapi serangan tentara Romawi Timur.
Khalid yang masih sangat belia itu segera mengatur strategi pengalihan komando. Dengan cepat ia menunjuk Mutsanna bin Harits menggantikan posisinya di daerah Irak untuk menghadapi musuh. Ia pun segera mengambil 1500 tentara Islam dan bergerak ke Syria melalui jalan padang pasir. Badi’us Samawah—padang pasir yang belum pernah dilalui manusia saat itu—dirambahnya demi mengejar waktu sampai ke sana.
Sesampai di Syria, Khalid menggabungkan pasukan yang dipilihnya dari Irak dengan yang ada di Syria sehingga totalnya berjumlah 4000 tentara. Terjadilah pertempuran sengit pasukan Islam itu bertarung melawan 24.000 tentara Romawi. Khalid yang gagah perkasa dan berpengalaman mengatur strategi perang tampil dengan penuh ksatria.
BACA JUGA: Lebih Dekat dengan Khalid bin Walid
Meski jumlah pasukan Islam tak sebanding dengan pasukan Romawi, tetapi peperangan itu berlangsung cukup lama. Puluhan tentara Islam syahid dan ratusan tentara Romawi menjemput maut. Pemimpin pasukan Romawi tak menduga bakal menghadapi perlawanan yang sengit sehingga merenggut anggota pasukannya tersebut.
Khalid sangat bersyukur dan bahagia mendapatkan jajaran anggota pasukannya yang taat sehingga hampir mencapai kemenangan. Di saat hendak mengakhiri peperangan itu, datanglah utusan Khalifah Umar bin Khattab—yang menggantikan posisi Abu Bakar karena wafat—memberikan surat tertutup kepada Khalid.
“Pedang Allah”—demikian julukan Khalid bin Walid—segera membuka surat bertanda tangan sang Khalifah Umar.
Isinya, berita wafatnya Khalifah Abu Bakar yang sebelum sakaratul maut beliau memerintahkan pemberhentian Khalid sebagai pimpinan pasukan segera. Usai membaca isi surat pendek itu, Khalid tampak termenung. Meski agak gundah ia menjaga sikapnya tetap tenang seraya tidak menunjukkan reaksi yang mengejutkan di depan beberapa anggota pasukannya.
Khalid menerawang ke angkasa, menganalisa penyebab Khalifah memberhentikan dirinya. Sebagai seorang manusia pada mulanya ia merasa terhenyak melihat isi surat tersebut. Namun, sebagai shahabat yang telah berbai’at serta mengetahui secara dekat pribadi dan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar serta Umar bin Khattab, Khalid tunduk pada titahnya.
Sekalipun seolah-olah kasih sayang Khalifah pada Khalid hilang karena amar tersebut, Khalid tetap memandang Umar di atas keadilan dan ketakwaan. Karena itu ia melenyapkan segala syak wasangka. “Tak ada alasan untuk meragukan keputusan yang diambilnya,” kata hati Khalid mantap.
Dengan lembut ia membisikkan pesan kepada si pembawa surat agar tidak menceritakan berita wafatnya Khalifah Abu Bakar dan pemberhentian dirinya kepada siapapun. “Tinggallah di suatu tempat tertentu dan tetap di situ sampai ada perintah selanjutnya. Jangan pula berhubungan dengan siapapun,” ujar Khalid.
BACA JUGA: Unta Rasulullah Berhenti di Depan Rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid
Sesuai pesan surat tersebut, Khalid lantas menunjuk Abu ‘Ubaidah bin Jarrah sebagai pimpinan pasukan Islam, menggantikan dirinya. Ia ikhlas berganti posisi menjadi anggota pasukan. Gelora jihad kian membara hingga pada akhirnya tentara Romawi kocar-kacir meninggalkan bumi Syria.
Atas kemenangan itu pasukan Islam yang tinggal sekira 3000 tentara melantunkan takbir, tahmid, dan tasbih. Mereka saling berpelukan. Khalid pun memberi hormat pada Abu ‘Ubaidah yang telah memimpin pasukan hingga menang. Abu ‘Ubaidah menyambut salam penghormatan atasnya. Ia mendekati Khalid, memeluk dan mencium di antara kedua matanya, seraya memuji kebesaran jiwa dan akhlaknya. Air matanya mengalir tanda bahagia dan syukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin.
Di tengah hiruk-pikuk kemenangan, Khalid menunjukkan surat Khalifah Umar bin Khattab kepada Abu ‘Ubaidah. Abu ‘Ubaidah tertegun sesaat seolah tak mempercayainya. Lantas, Khalid pun mengumumkan kepemimpinan Abu ‘Ubaidah untuk mengomandani pasukannya yang masih bertempur melawan kekaisarn Persi di Irak. Sebagian pasukan tampak keheranan mendengar putusan Khalid.
Ada pula segelintir tentara yang memprotes pemberhentian Abu Sulaiman—sapaan akrab Khalid bin Walid. Mereka mempertanyakan sikap panglima Khalid yang masih bersemangat dan bertempur mati-matian padahal dia sudah dipecat oleh Khalifah Umar? “Aku berjuang bukan karena kepentingan Umar. Aku berjuang semata-mata untuk Allah SWT!” jawab Khalid tegas. Mereka pun terdiam sambil menahan rasa haru dan kagum padanya.
Orang-orang yang fanatik pada figur Khalid yang tak pernah kalah dalam setiap pertempuran terus mempertanyakan kebijakan Khalifah Umar atas pemecatannya. Mereka menganggap Khalifah tidak adil dalam masalah ini.
“Tidak! Aku memberhentikan Khalid bukan kerana tidak suka kepadanya. Juga bukan karena dia tidak jujur. Bahkan aku kagum padanya. Tindakan yang aku ambil hanyalah untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa kemenangan umat Islam selama ini hanyalah karena pertolongan Allah SWT. Bukan karena kehebatan Khalid! Jangan sampai ada anggapan bahwa kemenangan kita selama ini semata-mata karena kehebatan Khalid bin Al-Walid saja…” jelas Khalifah Umar.
Penjelasan Khalifah mematahkan teka-teki seputar pemecatan itu. Mereka sadar bahwa kefanatikan pada diri Khalid dapat membahayakan akidah mereka. Hal demikian sudah ditangkap batin Khalid yang telah ditempa oleh Rasulullah SAW selama beberapa tahun sebelum beliau wafat.
BACA JUGA: Ini 9 Jenderal Perang Terhebat dalam Sejarah Islam
Sungguh pun hingga menjelang akhir hayatnya Khalid tetap menjadi anggota pasukan perang, namun hidupnya berakhir di atas ranjang—sesuatu yang sebenarnya tak diinginkannya. Ribuan pelayat mengantarkan menyolati dan mengantarkan jasadnya ke liang lahat. Ibunya melepaskan kepergian anaknya yang perkasa itu dengan untaian syair:
“Jutaan orang tidak dapat melebihi keutamaanmu. Mereka gagah perkasa tapi tunduk di ujung pedangmu. Engkau pemberani melebihi singa betina. Yang sedang mengamuk melindungi anaknya. Engkau lebih dahsyat dari air bah. Yang terjun dari celah bukit curam ke lembah…”
Mendengar bait syair itu menambah duka Khalifah Umar. Air matanya bercucuran, seraya menjawabnya, “Benar ucapannya itu! Demi Allah sungguh-sungguh demikian.” []
Sumber: Majalah SAKSI, Jakarta