Yusuf Maulana
SYEIKH Abu al-Wafa Ali ibn ‘Uqail adalah pemuka mazhab Hanbali pada masa kekhalifahan Abbasiyah dipegang al-Qa’im. Mihnah yang ditimpakan Khalifah pada Imam Ahmad ibn Hanbal dalam soal kemakhlukan Quran berlalu sekira 2,5 abad sebelum itu. Tapi kejadian itu masih sangat terasa di antara pengikut mazhab Hanbali semasa hidup Syeikh Ibn ‘Uqail.
Kecurigaan pada pengikut Mu’tazilah masih sukar dipendam, apatah lagi aliran ini dicap menyimpang dalam beberapa urusan oleh kalangan Ahlus-Sunnah wa al-Jama’ah. Sebagai aliran yang dipegang para khalifah, dari era al-Ma’mun hingga sebagian periode kekuasaan al-Watsiq, keberadaan Mu’tazilah tentu tidak mudah dilupakan begitu saja. Maka menjadi hal ganjil manakala Syeikh Ibn ‘Uqail justru tampak bermesra dalam pergaulan dengan kalangan seteru mazhabnya ini.
Motif sang syeikh sebenarnya hanya untuk menyelami secara mendalam pandangan kalam kalangan Mu’tazilah. Tentu saja yang tampak di mata orang lain tidak seperti itu. Jangankan dengan kalangan Mu’tazilah, dengan sesama Ahlus-Sunnah dari mazhab lain, terutama para pengikut Imam asy-Syafi’i, sudah melahirkan konflik. Lagi-lagi, dalam urusan ini, Syeikh Ibn ‘Uqail menabrak “tabu” berinteraksi dengan mazhab lain tersebut. Kompletlah bila ia dianggap aneh, nyeleneh, di kalangan Hanbaliyah yang dikenal ketat menjaga kemurnian berislam.
“Semua ulama Hanbali pada saat itu menginginkan agar saya mau meninggalkan pergaulan dengan ulama-ulama mazhab lain,” daku Syeikh Ibn ‘Uqail sebagaimana dipetik dari karya Majid Irsan Kaylani, Hakadza Jil Shalahiddin Wakahadza ‘Adat al-Quds. Tekad dan komitmen sang syeikh ini jelas, yakni bila dirinya menuruti permintaan rekan semazhabnya itu maka “akan menghalangi saya dari ilmu yang bermanfaat.” Tanpa terkecuali tatkala ia mendalami pandangan para pengikut Mu’tazilah.
Akibat tidak mengindahkan saran banyak rekan semazhabnya, Syeikh Ibn ‘Uqail pun di-tahdzir. Beliau diboikot. Pendapatnya ditolak. Kerapnya ia merapat ke rumah Abu Ali ibn Walid, sang Mu’tazilah karibnya, pertanda tak baik bagi karier dakwahnya di mazhabnya. Syeikh Ibn ‘Uqail dituduh keluar dari jalur atsariyah, ahlu al-hadits, madrasah Ahmad ibn Hanbal. Ia tertuding tersesat! Berlakulah, kata al-Kaylani, fitnah sepanjang 1064-1072 masehi pada Ibn ‘Uqail.
Masa itu, putusan yang ditempuh sang syeikh amat tidak lazim. Kala itu, amat mudah ditemui para alim yang memilih aman. Bahkan lebih jauh lagi: berpindah mazhab demi meraih keuntungan materi. Tak jarang ulama mencaci mazhabnya dulu lantaran ia berpindah di mazhab yang disokong penguasa. Adapun Syeikh Ibn ‘Uqail memilih bergeming, melawan arus para alim. Tatkala Mu’tazilah tidak begitu mendapat tempat di kekuasaan, Syeikh Ibn ‘Uqail justru menemui pemukanya. Hanya untuk menyelami agar umat tidak tersesat oleh aliran ini di kemudian hari. Atau, mencari kelemahan aliran ini agar bisa didapat hujjah yang sederhana lagi rinci dalam memalingkan pemeluknya yang sukar insaf.
“Bergantung harapan kepada mereka (penguasa) adalah kebangkrapan, dan tidaklah patut meminta pertolongan kepada selain Allah,” ujarnya tentang putusan membeda diri.
Sungguh tak mudah melakoni apa yang diperbuat Syeikh Ibn ‘Uqail. Harus menepis terjangan tudingan tak terhitung hanya untuk menegakkan kebenaran. Perpecahan yang sudah mendarah di tubuh umat, sementara para alim lebih mudah mencari aman, putusannya itu terasa aneh lagi ganjil. Dalam kekuasaan yang semacam itu, berani melawan arus demi islah dan tegaknya kebenaran adalah kepahlawanan tersendiri.
Pada masa kita sekarang, ruang-ruang seperti itu selalu terbuka. Tak mesti jadi alim serupa posisi Syeikh Ibn ‘Uqail; dalam berat dan penatnya sebagai umara dan alim di kelompok jamaah pun tidak kecil andil untuk menyatukan hati-hati umat ini. Di atas semua putusan itu, tentu kita mesti menakar diri: sudah siapkan bilamana semua telunjuk menghela, mengasingkan diri kita? []