Oleh: Daud Farma
ulviyeturk94@gmail.com
DI kampung kami, mudah sekali menemukan manusia kuno dan jomblo. Mereka tidak pandai menggombal, dekat dengat cewek pun mereka tidak berani. Rambut mereka gondrong. Mulai dari pagi hingga pagi kembali hanya duduk di kedai kopi.
Dan anehnya, mereka tidak sadar diri bahwa mereka berstatus jomblo. Mereka selalu kompak dan rukun beradat, membantu segala macam acara kampung, seperti Mawlidan, Sunnatan, dan pernikahan atau ragam acara lainnya. Mereka tidak mengganggu kebahagiaan orang lain, mereka baik dan nurut aturan kampung.
Tetua kampung kami merasa iba dan kasihan melihat para bujang lapuk yang masih menjomblo ini, berbagai usulan telah dianjurkan tetua kampung, seperti menyuruh mereka meratau mencari istri di daerah lain, cobalah merayu cewek, cobalah ikut perjodohan dan semacamnya, tetapi tetap saja gagal.
Akhirnya tetuakampung kami sudah kualah dan mereka mengadakan musyawwarah jomblo pada malam minggu. Hasil musyawwarah pun dibacakan di pagi harinya dengan dihadiri seluruh warga kampung dan para jomblo wajib hadir, semacam apel pagi. Para jomblo dipanggil ke depan.
“Setelah kami menimbang dan memperbincangkan problematika jomblo-jomblo sekalian, kami menemukan solusi agar kalian mendapatkan pasangan. Adapun solusinya ialah: sayembara cinta. Siapa saja para jomblo sekalian yang bisa menemukan pasangannya, maka akan kami nikahkan dengan mewah meriah dan juga mendapatkan uang tunai sebesar satu miliar.”
“Sampai kapan jarak waktunya, Pak Cik?” tanya seorang jomblo paling muda, dengan umur tiga puluh empat tahun. Tetua kampung kami memutar kumisnya yang bercabang dua seperti tanduk kerbau, tak lama akhirnya ia memutuskan.
“Malam lusa, silakan kalian datang ke rumahku dengan membawa bukti kain selendang calon pujanan hati kalian.”
“Siap, Pak Cik, syarat diterima.” sahut para jomblo serentak dan semangat.
Satu hari berikutnya, mereka bingung mencari solusi. Tidak mudah bagi mereka menemukan calon istri. Jangankan membawa kain selendang perempuan, bertemu perempuan secara tidak sengaja di pasar pun mereka gemetaran. Kebiasaan di kampung kami adalah mencari jodoh melalui jendela ke jendela.
Maknanya, si cowok di luar rumah dan si cewek di dalam rumah, mereka saling berbisik-bisik menyampaikan isi hati lewat sela-sela jendela. Siapa yang cintanya diterima oleh si cewek, maka si cewek akan memberikan selendangnya dan si cowok memberikan kain sarungnya, tukar-tukaran. Biasanya kain sarung dan kain selendang sengaja disiapkan yang baru dan wangi, dan penakluknya adalah yang pandai bernyanyi sembari memetik guitar berirama melodi dan berpantun. Dan cewek-ceweknya adalah pendatang dari kampung lain.
“Anak bebek berenang di kali
Anak ayam terbang ke pintu
Duhai adek si jantung hati
Sudikah kujadikan menantu ibu?”
“Abang ganteng minum kopi
Kopinya hitam manis sekali
Duhai abang berambut api
Kutunggu lamaranmu esok hari”
Esok harinya, para jomblo yang ikut sayembara mencari istri ini semuanya datang menghadap tetua kampung.
“Pak Cik, syarat siap dipresentasikan.”
Mereka mengeluarkan kain selendang mereka masing-masing dan mereka ikat di kepala mereka sendiri, dengan maksud agar tetua kampung tidak menanyakan nama calon pasangan mereka, karena kalau ditanya mereka gagap bicara, seakan mereka sedang berbohong. Membohongi tetua kampung adalah pelanggaran moral yang sangat besar, hukumannya adalah berenang di di kolam kerbau sehari semalam. Sehingga mereka berinisiatif menuliskannya di dalam sebuah kertas dan mereka lengketkan dengan isolasi ban di bagian depan selendang yang di bagian jidad.
“Preety, Sweety, Pinky, Marly, Marry, Beuty dan Sony.” tetua kampung membaca nama-nama itu dengan senang hati, senyumnya lebar sekali. Ia senang akhirnya para jomblo menemukan jodohnya.
“Baiklah, besok pagi akan saya undang mereka ke kampung kita. Sekarang silakan pulang dan jangan hilangkan selendangnya.”
Pulanglah mereka ke rumah masing-masing. Malamnya mereka tak bisa tidur dengan pulas bahkan ada yang begadang sampai pagi. Ada yang memakai selendang itu sebagai selimut tidurnya, ada yang melipatnya jadi bantal, ada yang menciuminya mulai dari kemarin hingga saat ini, ada yang melipatnya rapi dan dipeluk erat seeratnya dan ada pula yang meenghilangkannya. Ia tidak sadar ada krang yang mengambil selendangnya. Matanya bengkak menangisi selendang pemberian pujaan hati. Ia adalah orang yang paling tua di anatara jomblo lainnya, umurnya empat puluh tahun dan yang lainnya masih tiga puluh lima tahun.
Pagi harinya berkumpulah seluruh warga kampung, tamu undangan sudah berada dalam barisan. Warga kampung keheranan dan bertanya, siapa gerangan yang datang? Mereka tidak ada yang kenal. Padahal mereka adalah tamu undangan dari kampung sebelah. Para jomblo telah berdiri di depan hadirin dengan menggunakan selendang sang pujaan hati. Mereka enam orang, Eko memakai selendang dengan nama pasangan tertulis Pretty, Emo: Sweety, Ebo: Pinky, Ero: Marly, Eno: Marry, Endo: Beuty dan yang terkahir, yang paling tua, yang selendangnya telah hilang, yang matanya bengkak karena menangis, bernama Bemo: Sony.
Tamu undangan sengaja didudukan di belakang, tidak terlihat oleh para jomblo.
Tetua kampung suka sekali bikin kejutan, ternya mereka sangat paham dengan keromantisan.
“Kepada tamu undangan, silakan maju ke depan dan berdiri di samping para jomblo kita, sesuai dengan namanya masing-masing.”
Suasana hening, para tamu undangan malu-malu kucing, dan tetua kampung yang paling tua naik ke podium tuk kedua kalinya.
“Ayolah cepat sikit, kita tak punya banyak waktu. Jangan ikuti budaya keong!”
Akhirnya para tamu undangan maju satu persatu ke depan dengan membawa selembar kardus yang tertuliskan nama mereka, kertas kardus itu sengaja dibalikan tulisannya ke belakang. Sony yang terakhir maju, langsung paham, ia segera menuju orang yang tak punya selendang, ia sangat yakin orang itulah yang dua malam kemarin yang bersahutan pantun dengannya. Setelah mereka berdiri di samping pasangan masing-masing, saatnya tetua kampung membalikkan potongan kardus-kardus itu.
“Pretty: umur 50 tahun, Sweety: 51 tahun, Pinky: 52 tahun, Marry: 53 tahun, Marly: 54 tahun, Beuty; 55 tahun dan Sony: 22 tahun.”
Para hadirin sakit perut menahan tawa, tepuk tangan hadirin sangat meriah dan meramaikan suasana.
Para jomblo mergerutkan kening, kecuali si Bemo yang dari tadi senyum bahagia, pacarnya masih muda, mulus, belum keriput, pacarnya cantik jelita.
Teman-temannya menyesal mengerjai Bemo yang paling tua di antara mereka. Mereka sengaja menyembunyikan kainnya Bemo dengan maksud supaya Bemo jadi perjaka tua. Tetapi nasib berpihak sebaliknya, teman-teman Bemo tidak ingin punya istri nenek-nenek alumni panti jompo. Akhirnya tetua kampung memutuskan bahwa pemenang sayembara ini adalah Bemo. Semua hadiah sebesar tujuh miliar diberikan kepada Bemo dan acara pernikahannya digelar dengan mewah dan istimewa.
Selepas akan nikah, teman-temannya bertanya padanya, “Apa rahasiamu bang, Bemo? Bagilah resepnya supaya kami juga segera dapat jodoh.”
“Rahasianya gampang sekali, Kawan.”
“Apa itu bang, Bemo?” tanya mereka serentak tak sabaran.
“Pandai-pandailah kalian berpantun, Boi!, hanya itu, tidak lain! Tapi kalau kalian ingin pandai berpantun macam aku ini, pergilah kalian ke rumah nenek Penyot, dengan satu syarat bawalah sirih yang banyak.”
Esok harinya mereka pun mendatangi rumahnya nenek penyot, namun amat disayangkan, nenek penyok telah dikebumikan dua hari yang lalu. Kini mereka kembali jadi jomblo, mungkin jodoh mereka tak datang sebelum berumur empat puluh tahun seperti si Bemo.
Begitulah orang kampung kami, mereka jomblo yang setia, sabar dengan kejomboannya, mereka memang jomblo yang tak laku, tetapi kalau mereka berpantun, kelar hidup lo! []
Kairo, 19-12-2016.