Oleh: Hamsina Halik, A. Md.
Anggota Komunitas Revowriter
Tinggal di Mamuju, Sulbar
as.saafa@gmail.com
PERNIKAHAN adalah bersatunya dua insan dengan karakter dan latar belakang yang berbeda dalam sebuah ikatan suci. Ikatan yang bernilai ibadah sepanjang perjalanan pernikahannya. Bersama dalam suka maupun duka, merangkai bahagia menuju keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Namun, dalam perjalanan pernikahan ini tak selamanya berjalan mulus. Tentu akan ada kerikil-kerikil kecil yang datang menyapa. Menyentil kebahagiaan yang tengah berlangsung. Dengan sentilan yang halus. Jika tak bisa menghindari akan menjadi kesedihan yang berujung keretakan rumah tangga. Jika mampu menghindari, maka sentilan itu hanya ‘numpang lewat’ saja. Itulah bumbu-bumbu kehidupan dalam setiap biduk rumah tangga.
BACA JUGA: Puisi Suami Istri
Perkara ekonomi menjadi persoalan yang paling sering dialami oleh pasangan suami istri. Kehidupan yang serba sulit, kebutuhan dasar yang harganya melambung tinggi mencekik leher, ditambah sulitnya lapangan pekerjaan yang layak menambah daftar penderitaan sebuah keluarga. Demi sesuap nasi ini, istri pun akhirnya turut menopang perekonomian demi asap dapur tetap mengepul.
Terkadang pendapatan istri lebih tinggi dari suami. Dalam kondisi seperti ini, sebagian suami merasa canggung untuk meminta bantuan kepada istri, manakala pendapatannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk menjaga harga dirinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga, suami lebih memilih untuk mencari tambahan lain meski harus berutang sekalipun. Padahal, pendapatan istri lebih dari cukup untuk membantu pemenuhan sebagian kebutuhan hidup mereka.
Di sinilah diperlukannya komunikasi antara suami istri. Mengajak istri untuk berdiskusi, apakah istri ridha dan ikhlas jikalau penghasilannya “sementara” digunakan untuk menambah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, tetap diingat bahwa kewajiban mencari nafkah buat istri dan anak tetap ada pada suami.
Sedangkan pendapatan istri posisinya hanya sebagai sedekah, jika dia membantu suaminya. Jika demikian, tak ada lagi persoalan pinjam meminjam demi memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Dikisahkan dalam sebuah hadist dari Jabir bahwa Rasulullah SAW berceramah di hadapan jamaah wanita, beliau berkata:
“Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah, sebab saya melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.”
Sehingga, para wanita itupun berlomba-lomba menyedekahkan perhiasan mereka dan mereka melemparkannya di pakaian Bilal. (HR. Muslim)
Dengan demikian, jika seorang istri ingin bersedekah maka orang yang paling utama berhak menerima sedekahnya adalah suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist dari Abu Sa’id ra.
BACA JUGA: Pasangan Suami Istri yang Dikagumi oleh Allah
“Dari Abu Sa’id al Khudri ra berkata bahwa, “Zainab, istri Ibnu Mas’ud datang meminta izin untuk bertemu Rasulullah.
Beliau bertanya, “Zainab yang mana?”.
Kemudian ada yang menjawab, “Istrinya Ibnu Mas’ud.”
Dan Rasulullah mengatakan,“baik, izinkanlah dirinya”.
Maka zainab pun berkata, “Wahai nabi Allah, Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku memiliki perhiasan dan ingin bersedekah. Namun, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku.”
Lantas Rasulullah bersabda, “Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” (HR. Imam Bukhari)
Bahkan, dalam hadist lainnya disebutkan bahwa Rasulullah berkata bahwa, “Benar, ia mendapatkan dua pahala yaitu pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah.”
Karena itu, pasangan suami istri perlu memahami bahwa pernikahan bukan sekadar menyandang status hubungan pernikahan agar bisa berkumpul bersama menyatukan cinta yang terjalin. Tapi, suami istri dalam ikatan pernikahan adalah partner hidup.
Ibarat pakaian, suami adalah pakaian bagi istrinya. Dan, istri adalah pakaian bagi suaminya. Saling menutupi, melengkapi, tolong menolong dan melindungi satu sama lain.
Juga, pernikahan adalah tentang bagaimana menjalin kerjasama dan menyatukan pendapat dalam menyelesaikan persoalan hidup berdasarkan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Menjadikan syara’ sebagai standar dalam menilai dan melakukan segala hal.
Sehingga roda kehidupan bisa dijalani bersama dan badai yang datang pun akan mampu dihadapi. Kenyamanan dan ketenangan serta rasa bahagia dalam berkeluarga akan terwujud. Wallahu a’lam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.