NAYPYIDAW – Sejumlah wanita Rohingya berbaris untuk memberitahu wartawan tentang suami, ibu dan anak yang hilang saat media internasional mengunjungi sebuah desa di negara bagian Rakhine. Ini adalah pertama kalinya media mengunjungi wilayah yang terkena dampak kekerasan sejak Oktober lalu.
“Anak saya bukan teroris. Dia ditangkap saat melakukan pekerjaan pertanian,” kata seorang ibu muda, Sarbeda. Ia lantas menyibukkan diri bersama bayi dalam pelukannya, melewati sejumlah wanita lain yang mengadu kepada wartawan bahwa suami mereka telah ditangkap.
Sarbeda adalah warga Kyar Gaung Taung satu dari tiga desa di Rakhine yang menjadi lokasi tindak kekerasan oleh militer. Ia mengaku telah diperbolehkan untuk menjenguk anaknya yang lain, Nawsee Mullah (14) di sebuah kamp polisi dimana dia ditahan secara terpisah dari tahanan orang dewasa. “Saya tidak yakin apakah dia punya pengacara,” katanya Minggu (16/7/2017). seperti dikutip dari Asean Correpondent,
Sedikitnya 32 orang dari desa Kyar Gaung Taung telah ditangkap dan 10 orang terbunuh, kata seorang guru desa, yang meminta tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan. Dia memperkirakan bahwa setengah dari 6.000 penduduk desa telah melarikan diri selama operasi pembersihan.
Seorang penduduk desa lainnya, Lalmuti(23) menunjuk ke tumpukan abu kecil tempat dia mengatakan bahwa dia menemukan jenazah ayahnya. Dia menggambarkan bagaimana ayahnya diikat dan dilemparkan ke dalam rumah, dibakar sampai mati.
Ibunya kemudian ditangkap saat pihak berwenang menganggap aduan tentang pembunuhan itu dianggap dibuat-buat. “Ia menjalani hukuman selama enam bulan penjara,” kata Lalmuti yang diamini oleh dua orang penduduk desa lainnya.
Pada bulan November, tentara Myanmar menyapu desa-desa Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan tinggal di daerah Maungdaw. Menurut PBB, sekitar 75.000 orang melarikan diri melintasi perbatasan terdekat ke Bangladesh.
Penyelidik PBB yang mewawancarai para pengungsi mengatakan tuduhan pemerkosaan massal, penyiksaan, pembakaran dan pembunuhan oleh pasukan keamanan dalam operasi tersebut kemungkinan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun pemerintah Myanmar, yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi, telah menolak sebagian besar klaim tersebut. Mereka juga menghalangi masuknya misi pencari fakta PBB yang ditugaskan untuk menyelidiki tuduhan tersebut.[]