Oleh: Ustaz Felix Y Siauw
DALAM hidup ini, kita tak hanya berbicara tentang boleh tidak boleh, tapi seringkali juga pantas dan tidak pantas. Dalam Islam, kepantasan ini punya kedudukan tinggi.
Shalat dengan kaos kutang sah dalam Islam, namun tidak layak. Sebagaimana Ibnu Abbas merasa tak pantas bersejajar shalat dengan Rasulullah meski Rasul yang meminta.
Kepantasan dan kelayakan itulah namanya etika, dan etika ini yang menentukan tingkat kepahaman seseorang, dan juga menggambarkan ketinggian akhlaknya.
Misalnya, etikanya lebih pantas ulama yang didatangi penguasa, sebab bila ulama yang mendatangi penguasa biasanya banyak fitnah yang akan timbul pada dirinya.
Pengusaha yang bermewah misalnya, akan menginspirasi. Tapi bila penguasa dan ulama yang bermewah, itu menyakiti. Sebab yang mereka pilih adalah jalan ilmu dan amanah.
Andai Rasulullah meminta pada Allah emas sebesar Uhud, pastilah Allah akan kabulkan. Alhamdulillah Rasulullah Muhammad memilih jalan sederhana, sungguh mulia.
Sebab perasaan manusia sulit menerima bila seseorang mengajarkan nilai mulia dan luhur, sementara dirinya sendiri bergelimang dunia, tamak dengan yang fana.
Lebih lagi, manusia itu seharusnya punya tenggang rasa, tepa selira. Ini tingkatan lebih tinggi dari simpati dan empati. Yakni menganggap orang lain juga bagian diri kita.
Disaat manusia lain sangat kesulitan dalam hidup, lalu ada yang digaji ratusan juta itu berita yang sangat membuat tidak nyaman, Apalagi untuk mereka yang didaku paling Pancasilais.
Sebab saat sekolah dasar, Pancasila itu tentang kepantasan, kelayakan dan etika. Ide besar yang didasarkan atas Islam yang tinggi dan sempurna, jauh dengan yang diimpikan saat ini
Bagi saya, diberi uang ketika mendakwahkan Islam, adalah penghargaan paling rendah. Sebab kenikmatan dan keindahan dalam dakwah, adalah ketika kita tahu ini perintah Allah.
Biarlah, kita tetap jaga etika, tetap ada hikmah yang bisa diambil. Pertama, kita jadi tahu Islam itu indah sebab etika. Kedua, kita belajar agar kita tak ulangi hal yang sama. []