Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)
BARU saja mendengar kabar duka, rekan senior Agus Nurhadi meninggal dunia di kota Malang, Jawa Timur. Setelah delapan pekan lebih dirawat di ruang intensif RS Saiful Anwar, akhirnya doktor ahli kimia lulusan Universitas Louis Pasteur, Strasbourg, Perancis itu kembali ke rahmatullah.
Mungkin tak banyak orang mengenal sosok cendekiawan seangkatan dengan Mohammad Nuh (mantan Menteri Pendidikan Nasional 2009-2014) saat kuliah di Perancis (Montpellier 2 University). Senior Agus adalah salah seorang perintis dakwah di kampus Universitas Indonesia, dalam arti sederhana: menyebarkan nilai-nilai Islam yang universal di lingkungan akademik. Dia bukan ahli pidato yang menggugah ribuan jamaah seperti AllahuyarhamImaduddin Abdulrahim, inisiator dakwah kampus dari ITB (Institut Teknologi Bandung) yang menjadi panutan para aktivis di era kontemporer. Dia juga bukan seorang pemikir keislaman (seperti Nurcholis Madjid) atau tokoh pemimpin organisasi besar Islam (semisal Amien Rais), tapi jejak perjuangannya masih terasa di kampus.
Saya mengenal senior Agus ketika tahun 1984 sempat mampir kuliah di Fakultas MIPA UI. Saya mengambil jurusan yang salah, matematika, setelah melepas kesempatan untuk kuliah gratis ikatan dinas di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hidup sebagai kaum muda pada masa Orde Baru memang bukan kenangan indah. Masa remaja sebagai siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) saya lalui dengan penuh ketegangan. Pada masa itu sedang bangkit gairah keagamaan dan entah mengapa rezim Orba saat itu tak begitu suka dengan kelompok Islam, antara lain ditandai dengan pelarangan siswi berkerudung di lingkungan sekolah.
Saya menyaksikan, mengalami dan merasakan sendiri betapa kezaliman dan ketidakadilan menjadi sumber perlawanan dan pemberontakan jiwa kaum muda saat itu. Pada saat sedang suntuk mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) untuk mahasiswa baru UI, saya mendengar tragedi pembantaian umat Islam di Tanjung Priok, Jakarta Utara (12 September 1984). Saya tak hadir dalam momen berdarah itu, tapi beberapa pertemuan sebelumnya saya ikuti. Esok paginya, di halaman depan Masjid Arief Rahman Hakim UI, Salemba, dipasang bendera kuning dan merah-putih setengah tiang.
Saya sedang istirahat di Masjid ARH dan membaca al-Qur’an, ketika terdengar keributan di lorong kampus. Rupanya aparat kepolisian/keamanan sedang melakukan razia ke dalam kampus untuk mencari siapapun yang ikut hadir dalam tabligh akbar di Tanjung Priok atau siapapun yang menyebarluaskan informasi tentang kerusuhan berdarah itu. Saya sudah pasrah, jika akhirnya ditangkap aparat, karena sebelumnya beberapa kali saya luput dari sergapan serupa di tempat lain. Tampaknya, hari itu aparat tidak berani masuk ke dalam Masjid ARH UI, khawatir jika menyulut emosi masyarakat yang lebih besar.
Hari itu, saya tak mengikuti sessi terakhir dari Penataran P4 karena saya berpikir: buat apa kita berdiskusi tentang nilai-nilai luhur Dasar Negara Pancasila, sementara dalam praktek justru terjadi pelanggaran secara nyata. Praktek otoriterianisme kekuasaan di masa Orba jelas-jelas melangggar nilai universal Pancasila dan hal itu kemudian dikoreksi oleh gerakan reformasi 1998. Tapi pada masa Orba, sikap kritis seorang mahasiswa bisa bermakna: siap dipecat dari kampus (DO) atau ditangkap aparat dengan dakwaan sumir. Saya mewakili ribuan mahasiswa yang galau dan tertekan: mempelajari ilmu-ilmu dasar tentang ketertiban dan keteraturan alam semesta (makro kosmos), tapi menyaksikan kekacauan dan penindasan di lingkungan sekitar (mikro kosmos). Menjaga kewarasan dan tidak gila di masa Orba sudah sebuah keberuntungan, karena kawan-kawan aktivis banyak yang hilang ingatan atau bahkan hilang jasadnya sampai sekarang.
Salah seorang yang menjadi tempat curhat di tengah kegalauan itu adalah senior Agus: orangnya tenang, bicaranya tertib dan meyakinkan. Sangat berbeda dengan Fahmy Basya (perumus matematika Islam) yang meledak-ledak atau Tony Ardie (mentor saya dalam latihan mubaligh) yang menjadi musuh utama Orba. Dalam diskusi terbatas, senior Agus berpesan singkat: “Di alam semesta berlaku hukum keseimbangan, termasuk pula dalam tubuh kita terjadi homeostatis asam-basa. Untuk mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh manusia dianugerahkan larutan penyangga/enzim, sistem pernapasan dan ginjal.”
Lha, apa hubungannya dengan sistem politik otoriterian yang menindas warga dan menekan hak asasi manusia? “Sistem sosial juga mengenal mekanisme keseimbangan, check and balance. Perlu ada unsur penyangga, sistem pernapasan dan ginjal yang mengolah dan mengelola ketimpangan jika terjadi, agar fungsi sosial berjalan sesuai konstitusi,” jelas senior Agus. Saya cuma bengong. Mengapa senior ini bersilat logika, sedangkan penderitaan rakyat sudah di depan mata. Apakah itu bukan sebentuk dosa kaum intelektual yang merasionalisasi kezaliman? Di jurusan matematika, saya mendapati senior lain yang lebih gila lagi menyederhanakan kerumitan sosial-politik dengan rumus aljabar. Saya merasa terjebak.
Perkenalan kami singkat belaka, karena seingat saya senior Agus lulus sarjana kimia tepat waktu dan hendak melanjutkan studi ke Perancis. Oalah, belajar jauh-jauh ke negeri para filosof modern, sambil meninggalkan Indonesia yang sedang porak-poranda. Saya frustasi, dan setahun kemudian meninggalkan kampus UI (tanpa pamit) untuk menempuh kuliah di Surabaya. Kali ini saya ambil jurusan sosial-politik agar bisa mengetahui sumber kekacauan dan penindasan di alam mikrokosmos.
Nyaris satu dasawarsa berlalu kami berjumpa lagi, senior Agus sudah menjadi dosen di FMIPA UI dan saya mencoba hidup sebagai wartawan. Sesekali saya wawancara atau kami berdiskusi tentang topik yang sedang hangat, misalnya isu islamisasi sains. Ada sebuah buku karya Maurice Bucaile yang sempat best seller, “La Bible, le Coran et la Science” (diterjemahkan Prof. Dr. H.M. Rasjidi ke dalam bahasa Indonesia: Bibel, Qur’an dan Sains Modern, 1979). Saya kurang tertarik dengan Bucailisme karena semacam justifikasi sains terhadap otensitas al-Qur’an. Padahal sebaliknya, norma al-Qur’an bisa menjadi parameter untuk kebenaran saintifik. Saya lebih sependapat dengan proposal Ziauddin Sardar (1993) untuk merumuskan epistemologi alternatif, lalu membangun karya keilmuan dan peradaban baru dari situ.
Di tengah dialektika intelektual, para aktivis dakwah kampus menjadi komunitas kreatif untuk mendorong arus besar islamisasi sains. Ini semacam aksioma sejarah yang pernah dinukil Arnold J. Toynbee (1961) sebagai pertanda perubahan zaman. Mereka menekuni disiplin ilmu masing-masing di bawah spirit keberagamaan yang membara. Ada upaya reaktualisasi menggali “Api Islam” yang pernah dicanangkan Soekarno muda (Pandji Islam, 1940). Atau dalam bahasa H.O.S. Tjokroaminoto, guru Soekarno dan tokoh bangsa, para aktivis dakwah kampus sedang menerapkan resep survival: “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” di tengah tekanan Orba. Bagi kelompok liberal-sekuler yang terserap dalam kekuasaan, tindakan itu dianggap naïf, Tapi, bagi kelompok kiri-radikal, aktivis dakwah kampus dinilai melakukan eskapisme politik. Pengecut.
Orang baru serius membicarakannya setelah aktivis membentuk Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan membangun jaringan komunikasi di seluruh Indonesia. Dari sinilah kemudian lahir idepembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang memperkuat posisi Menristek B.J. Habibie di panggung politik nasional. Saat itu berkembang rumor “Ijo royo-royo” yang menunjukkan pergeseran bandul politik Orba kepada kelompok Islam. Kesalahpahaman tentang sejarah dakwah kampus, sebagaimana terlihat dalam riset Ade Armando dan Setara Institute (31 Mei 2019), antara lain karena memandang dakwah kampus hanya dari aspek politik. Wajah dakwah kampus akan sangat berbeda bila dicermati sebagai gejala sosiologis atau antropologis (komunitas muda-terdidik yang mengalami kebangkitan relijiusitas).
Peran penting senior Agus dan rekan sejawatnya Suharna Surapranata (Menristek periode 2009-2011) justru semakin menonjol pasca reformasi 1998. Zaman ketika peluang sekaligus jebakan kekuasaan semakin terbuka. Merekalah yang membuat pagar api: batas yang tegas antara aktivitas dakwah versus kegiatan politik praktis. Mereka didukung tim pengkaji dan peletak dasar bagi standar kompetensi aktivis agar memahami dan menguasasi tugas dakwah di lingkungan akademik, serta memiliki kapasitas memadai bila ingin terjun ke organisasi sosial atau kancah politik. Tentu saja para aktivis dakwah dari kampus yang berbeda mengembangkan koridor kompetensi tersendiri.
Salah satu koridor penting yang digariskan adalah strategi mobilitas aktivis dalam arena dakwah secara vertikal atau horizontal harus memperhatikan pembangunan kredibilitas personal. Jadi, tak hanya bermodalkan nepotisme atau lobi kasak-kusuk. Setiap aktivis diwajibkan membangun kredibilitas moral (integritas dan kejujuran), kredibilitas sosietal (kepedulian dan pengabdian untuk membangun basis sosial kongkrit), serta kredibilitas profesional (kompetensi, kecakapan manajerial dan kemampuan berpikir/bertindak strategis). Jangan mimpi, para aktivis akan menapaki tangga karir atau posisi politik hanya bermodalkan rekam jejak sebagai demonstran atau seminaris. Kritik tajam itu sebenarnya sudah dilakukan Soe Hok Gie terhadap aktivis Angkatan 1966 yang terperangkap dalam labirin kekuasaan Orba. Kritik serupa juga tertuju kepada Angkatan 1998 yang kini berada di puncak kekuasaan.
Sebagai peta jalan para aktivis, senior Agus dan Suharna memaparkan kurva pembelajaran yang mungkin ditempuh dalam empat tahapan: 1) proses pematangan diri (penguasaan teknis, profesi dan penemuan jati diri), 2) pematangan kemampuan (multi aspek pengembangan ilmu, kemampuan lobi dan mempengaruhi kebijakan publik), 3) pematangan peran (di tingkat nasional dan internasional sesuai kompetensi), dan 4) kearifan filosofis (kekayaan pengalaman dan menjadi rujukan masyarakat). Tidak semua aktivis bisa menjalani proses pembelajaran itu secara paripurna, tapi sekurang-kurangnya muncul satu tekad untuk berkontribusi bagi kemajuan dan perbaikan bangsa. Bila sekarang ada tuduhan bahwa aktivis dakwah kampus menyebar bibit radikalisme dan menjadi ancaman bagi masa depan NKRI, itu mungkin salah identifikasi atau justru untuk memecah-belah dan melemahkan sivitas akademika sebagai benteng intelektual NKRI. Kebiasaan melontarkan stigma dan stereotipe kepada kelompok tertentu hanya ulah person/kelompok yang mengalami trauma di masa lalu. Mereka yang ingin membalaskan dendam terhadap kepahitan hidup yang pernah dialaminya,
Aktivis dakwah kampus jauh dari sikap stigmatisasi karena mereka dididik untuk rendah hati, obyektif, open mind, dan moderat (ROOM Principles). Senior Agus bergerak lebih jauh, tak hanya membangun kredibilitas personal, melainkan juga mengembangkankredibilitas institusional. Karena itu, ia mengajar dan melatih para aktivis untuk menerapkan standar internasional (ISO 9001: 2015) dalam pembinaan lembaga dakwah. Jangan amatiran. Sudah banyak organisasi mahasiswa/kepemudaan, lembaga sosial/kemanusiaan, dan organisasi dakwah yang merasakan sentuhan supervisinya. Rahadi, seorang aktivis Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jakarta mengakui Sistem Manajemen Organisasi Dakwah (SMOD) yang pernah dirumuskan dan disosialisasikan Agus Nurhadi pada awal 2000-an masih dipakai sebagai standar manajemen mutu pelayanan masjid hingga saat ini.
Ketekunan senior Agus mengingatkan saya pada rekan Achmad Aryandra yang juga meninggal dunia akibat stroke setelah dirawat selama beberapa pekan di RS PON (Pusat Otak Nasional) Jakarta (5/6/2019). Aar panggilan akrabnya adalah seorang akuntan lulusan STAN yang menempuh pendidikan pasca sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sedang menuntaskan pendidikan doktoral di Universitas Trisakti, Jakarta. Selain mengajar di PKN STAN, Aar menjadi dosen tetap di Universitas Nasional, Jakarta sehingga selalu dekat dengan mahasiswa.
Profesinya sebagai akuntan publik, pernah menjadi auditor BPKP untuk sektor minyak dan gas, serta menjadi Staf Khusus di Kementerian Pemuda dan Olahraga (2004-2009) dan Kementerian Sosial (2009-2014). Tipenya orang pendiam, tetapi jika sudah memeriksa surat dan dokumen betah berjam-jam. Tidak akan beranjak dari meja kerjanya yang dipenuhi dengan beragam arsip penting, kecuali ditemukan sebuah jawaban atas suatu persoalan. Sehingga, tatkala membahas suatu masalah Aar selalu merujuk pada dokumen tertentu, bukan asal njeplak.
Bila senior Agus mengajarkan dan melatih sistem manajemen mutu pelayanan lembaga dakwah, maka Aar menekankan urgensi laporan keuangan dan pengelolaan aset lembaga sebagai bagian dari pertanggung-jawaban publik. Lembaga yang memperoleh dan mengelola dana publik harus patuh pada standar akuntansi publik. Apalagi lembaga dakwah, bertambah berat syaratnya dengan standar akuntansi syariah. Jangan malah menggampangkan atau mengabaikan aturan baku.
Aar mengajarkan audit khusus/investigasi untuk mengetahui penyimpangan atau pelanggaran (fraud) yang dilakukan suatu organisasi. Ia memberikan saran agar organisasi sosial atau lembaga publik terhindar dari segala bentuk penyimpangan, meskipun tidak mudah di negeri kleptokrasi seperti Indonesia ketika korupsi sudah berurat-akar. Ia benar-benar terpukul tatkala sejumlah aktivis terjerat perkara korupsi dan menjadi target bullying di tengah masyarakat. Ia mungkin tahu sebabnya tapi tak kuasa mencegahnya karena perbuatan korupsi dipengaruhi karakter pelaku dan kultur organisasi yang mengelilinginya. Karena itu, Aar seiringsejalan dengan senior Agus untuk membina SDM dan organisasi dakwah yang terjamin mutunya.
Generasi baru aktivis dakwah saat ini sudah jauh berbeda dengan generasi Agus dan Aar. Aktivis millennial tak lagi kesulitan menguasai ilmu-ilmu dasar keislaman, karena mereka bukan hanya menguasai bahasa Arab, melainkan juga ulum al-Qur’an dan ulum al-Hadits. Bahkan, sebagian di antara mereka menekuni ulum al-Fiqh, Sirah, dan Tsaqafah Islamiyah. Tak ada lagi hambatan untuk mengakses ilmu klasik (at-turats al-Islamiyah) atau modern. Salah satu contohnya,
Muhammad Saihul Basyir (23 tahun), putra dari Mutammimul Ula rekan seperjuangan Agus Nurhadi yang telah menghafal kitab Jam’u Shahihain jilid III di Masjid Nabawi Madinah (4/1/2019). Kitab itu berisi 1682 hadits dan diselesaikan dalam rentang waktu 14 hari. Sebelumnya, “ Basyir menyelesaikan hafalan al-Qur’an di usia 12 tahun atau kelas 6 SD. Tahun 2018 mengambil sanad hafalan al-Qur’an riwayat ‘Ashim. Di Indonesia sudah banyak para penghafal al-Qur’an yang mengambil sanad itu untuk menjaga bacaan Al-Qur’an sesuai tajwid yang benar. Termasuk kakaknya Basyir, yakni Faris Jihady juga mendapatkan sanadnya di Saudi beberapa tahun lalu,” ungkap Ibunda Wirianingsih.
Tidak semua aktivis dakwah kampusmenempuh studi keislaman. Mereka memiliki bakat dan dan kecenderungan beragam. Generasi baru yang multi-potensi dan multi-kompetensi memang tak mudah membinanya. Bukan hanya bahasa Arab dan Inggris yang kini lazim mereka pelajari, tetapi juga bahasa Jepang, Korea, China, India, Turki, Jerman, Perancis, Yunani, Latin, Ibrani atau Swahili dan lainnya. Jiwa dan pikiran mereka terbuka untuk menjelajah dunia baru. Karena itu, sekali lagi tidak fair bila ada yang menuduh aktivis dakwah bersikap radikal dan menjadi ancaman bagi masa depan Indonesia. Orang-orang yang menuduh itu mungkin tidak punya kapasitas dan kontribusi untuk masa depan negeri ini.
Bagi generasi baru aktivis dakwah di era millennial, belajarlah dari sosok Agus Nurhadi (tentang konsistensi dan keteguhan memegang prinsip, betapapun pahit resikonya) dan cobalah belajar dari figur sederhana Achmad Aryandra (tentang ketelitian dan kehati-hatian dalam bertindak). Banyak lagi sosok lain yang patut diteladani, disamping Rasulullah saw dan para Sahabat Ra serta tokoh agung di belahan dunia manapun.
Jika ditanya, generasi perintis punya pesan sederhana: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui perkara yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS At-Taubah: 105)