AHAD (23/9/2018), seorang suporter sepakbola, Haringga Sirila (23), menjadi korban pengeroyokan suporter sepakbola lainnya. Peristiwa itu terjadi di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, menjelang laga Liga 1 antara Persib dan Persija.
Almarhum Haringga yang merupakan pendukung Persija Jakarta, menambah deretan panjang korban tewas yang berasal dari suporter sepakbola di Indonesia. Data lembaga nirlaba Save Our Soccer (SOS) mencatat 55 suporter sepak bola Indonesia tewas, mayoritas karena aksi kekerasan dan pengeroyokan, sejak 1995 sampai 2017.
Sementara itu, jumlah kematian pendukung Persija dan Persib telah mencapai 7 orang, sejak 2012 lalu.
BACA JUGA: Kriminolog UI: Pengamanan Pertandingan Sepakbola Wajib Dievaluasi
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dan aparat terkait untuk menghentikan aksi anarkis di dunia persepakbolaan Indonesia?
Setidaknya ada beberapa upaya yang dilakukan oleh 5 negara yang pernah tersangkut permasalahan serupa. Mungkin, ada pelajaran yang bisa dipetik dari upaya kelima negara tersebut untuk menghentikan jatuhnya korban jiwa atau bentrok antar kubu suporter sepakbola.
Berikut ini ulasan singkatnya:
1. Italia
Negeri pizza ini mengambil kebijakna membatalkan seluruh liga. Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) mengeluarkan ancaman pembatalan seluruh liga di negara itu, setelah rentetan kekerasan oleh suporter berlangsung pada Januari 2007.
Kala mengancam akan membatalkan seluruh kompetisi, Presiden FIGC saat itu, Luca Pancalli menyebut, “Kita dalam kondisi genting. Untuk memperbaiki citra sepak bola, saya siap mengambil langkah drastis.”
Kala itu, seorang ofisial klub amatir Sammartinese, tewas ketika terjebak dalam perkelahian antara pendukung dan pemain bola, pada Sabtu (27/01/07). Disusul kemudian, tewasnya seorang polisi, Filippo Raciti, saat bertugas melerai pertikaian antara dua pendukung klub Serie A, Catania dan Palermo, usai sebuah pertandingan pada Jumat (02/02/07).
Kematian Raciti saat itu membangkitkan solidaritas dan dukungan terhadap keselamatan aparat keamanan. Pancalli pun menunaikan ancamnnya, membatalkan seluruh pertandingan, bahkan laga yang digelar oleh tim nasional Italia, selama sepekan.
2. Turki.
Klub sepak bola Turki, Fenerbahce, menerapkan cara unik untuk mengatasi pertikaian antar suporter. Mereka melarang laki-laki menonton di stadion, dan hanya membolehkan penonton perempuan dan anak-anak.
Dilansir dari Anadolu, saat laga antara Fenerbahce dan Manisaspor, di Istanbul, pada September 2011, Fenerbahce memberikan lebih 41.000 tiket gratis kepada penonton perempuan dan anak-anak.
“Ini akan saya ingat selamanya. Jarang sekali stadion dipenuhi perempuan dan anak-anak,” kata kapten Fenerbahce waktu itu, Alex de Sousa.
3. Inggris
Sejak tahun 1970an, Asosiasi Sepakbola Inggris (FA), mencegah potensi kekerasan yang terjadi di dalam stadion dengan memisahkan tempat duduk penonton dari kedua kubu.
Lewat pernyataan resminya, FA menyebut, cara segragasi ini telah secara signifikan mengurangi aksi kekerasan di dalam stadion.
Dalam mayoritas pertandingan, kebanyakan kursi tentunya diisi oleh penggemar dari tim tuan rumah. Penggemar klub tamu biasanya duduk di zona berbeda, yang cenderung bukan tempat duduk favorit. Antara keduanya diberi pembatas, dan kadang sejumlah petugas jaga non-polisi (steward).
Antara tahun 1970an hingga 1990-an, sejumlah laga bahkan melarang pendukung bertemu di luar stadion: alur jalan masuk dan keluar dipisah. Namun, sejak pertengahan tahun 2000-an, pengamanan sudah semakin longgar. Usai pertandingan, pendukung kedua tim bisa berjalan bersebelahan di luar stadion.
4. Rusia
Di Rusia, Spartak Moscow, Lokomotiv Moscow dan CSKA Moscow adalah klub yang pendukungnya kerap rusuh. Mereka pun menyiapakan polisi anti-huru hara dengan perlengkapan komplit, yang kerap dipanggil para suporter sebagai “kosmonot”. Alasannya, karena pakaian pelindung tebal dan helm yang mereka kenakan.
Polisi tersebut juga dilengkapi tameng, pentungan dan gas air mata untuk menindak tegas pelaku, yang sering bersenjata.
Bahkan, tiga minggu jelang pembukaan Piala Dunia 2018, pemerintahan Presiden Vladimir Putin meluncurkan video yang memperlihatkan polisi menguji coba penggunaan pistol dan senapan mesin, untuk menakut-nakuti penggemar yang berniat rusuh.
Lebih jauh lagi, hukuman terkait tindakan yang dilakukan suporter, juga bisa dijatuhkan pada klub atau tim nasional yang didukungnya.
5. Belgia
Belgia membuka program Pelatihan Suporter. Ini dimulai oleh klub asal Belgia, Standard Liege, pada akhir 1980-an. Idenya mencegah terjadinya kekerasan oleh suporter dengan meredam gejalanya sejak dini.
BACA JUGA: Wahai Oknum Supporter Sepakbola …
Dalam program ini anak-anak muda ditanamkan nilai toleransi selama menonton bola. Pengajaran dilakukan oleh sejumlah pemain bintang dan mantan perusuh, yang memberi tahu kepada anak muda bahwa kekerasan yang dilakukan berpotensi fatal, melukai, dan berujung dengan catatan kriminal yang membuat mereka sulit mendapat pekerjaan di kemudian hari.
Program yang kemudian ditiru oleh banyak negara ini pernah mendapatkan penghargaan UEFA-backed European Football Supporters Award pada 2011, atas upaya tidak kenal lelahnya dalam melawan kekerasan di dunia olahraga. []
SUMBER: ANADOULU AND ALL SOURCE