JENEWA – Badan pengungsi PBB menyerukan peningkatan dukungan buat sebanyak 436.000 pengungsi Rohingya yang menyelamatkan diri dari Myanmar ke Bangladesh pada Agustus.
Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi Filippo Grandi mengatakan kondisi pengungsi masih menyedihkan, dan upaya bantuan kemanusiaan dapat mengalami kemerosotan dramatis jika bantuan tidak secepatnya ditingkatkan.
Grandi melakukan kunjungan ke Kamp Pengungsi Kutupalong dan daerah lain perbatasan tempat pengungsi membuat tempat berteduh sendiri di sebidang kecil tanah, demikian laporan Xinhua. Kendati dukungan mengalir dari masyarakat lokal.
“banyaknya arus orang yang menyelamatkan diri dengan cepat mengalahkan kemampuan untuk memberi tanggapan, dan situasi masih belum stabil”, katanya.
Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) sejauh ini mengirim tiga pesawat yang berisi barang bantuan ke Bangladesh, dan akan membagikan alat berteduh sementara, peralatan dapur dan lampu surya.
Satu lokasi yang diatur dengan sumber air, kebersihan dan instalasi lain telah didirikan untuk mencatat pengungsi baru.
Lembaga lain internasional dan organisasi non-pemerintah juga berada di lapangan dan memainkan peran penting.
Grandi tiba di Bangladesh pada Sabtu (23/9/2017) kemarin seperti dilansir Reteurs dan telah mengunjungi daerah di sekitar Coxs Bazar, tempat badan pengungsinya telah mendukung pemerintah dalam mengelola dua kamp resmi sejak 1992.
Selama bertahun-tahun, jumlah pengungsi yang terdaftar di kedua kamp tersebut naik-turun dan sekarang berjumlah sebanyak 33.000. Sebelum arus pengungsi paling akhir, juga ada sebanyak 300.000 pengungsi Rohingya yang tak terdaftar dan tinggal di daerah itu. Mereka meninggalkan Myanmar selama bertahun-tahun.
“Tapi untuk sekarang, pusat perhatian kita harus pada peningkatan dukukungan dramatis buat mereka yang sangat memerlukannya.”
Menurut UNHCR, penindasan pada akhir Agustus oleh militer Myanmar sebagai reaksi atas serangan oleh gerilyawan Rohingya telah mendorong sangat banyak pengungsi dari masyarakat Muslim tanpa negara ke seberang perbatasan.
Kerusuhan telah menyebar krisis kemanusiaan di kedua pihak perbatasan, dan memberi tekanan kuat global pada pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi untuk mengutuk aksi bersenjata itu.[]