Oleh: Daud Farma
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir
KAWAN, aku punya sudut pandang yang berbeda soal merdeka. Kutahu bahwa merdeka yang kamu maksud hari ini adalah merdeka dari jajahan belanda atas negeri kita Indonesia, dan aku pun mengakui dan bahagia dengan kemerdekaan kita.
Akan tetapi ini adalah soal individual, sampai hari ini aku belum merdeka, karena aku belum mampu menyakinkan ibuku.
Aku ingin sekali menikah. Ingin punya istri dan punya keturunan. Tapi kata ayah dan ibuku, aku mesti selesai kuliah minimal strata satu.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan keadaan dan hasratku yang ingin segera menikah, padahal aku sendiri ‘merasa’ yakin, sanggup lahir dan batin. Aku yakin aku bisa menghidupi rumah tanggaku nantinya.
Setiap aku menelepon ke kampung, aku coba menyakinkan ayah dan ibu. Sebenarnya ayah dan ibu setuju kalau aku menikah dengan segera mungkin, malah mereka senang kalau memang aku benar-benar mampu. Namun yang membuat mereka tidak setuju adalah aku menikah dengan gadis Jawa pilihanku.
BACA JUGA: Kalau Jodoh Ga Akan Kemana-mana
“Janganlah orang Jawa, nanti dia tidak mau tinggal di Aceh Tenggara. Nanti kamu ditahan mertuamu di tanah Jawa. Aku tidak mau di uisa senjaku kamu tidak ada di kampung, sudahlah waktu muda jauh, saat tua berjauhan pula, Mak tidak setuju!” Ibu mengkhawatirkan itu, sementara ayah punya alasan yang lain.
“Nanti saat istrimu datang ke rumah, aku tidak mau makan masakannya, karena manis. Istrimu pasti tidak suka pedas.”Aku sendiri tidak peduli apa yang ayah katakan, soal rasa masih bisa diajak bicara empat mata nantinya antara aku dan istriku. Yang aku tidak bisa memberi alasan adalah ucapan ibu.
“Tapi, Mak, dia ini katanya mau aku bawa ke Kuta cane, lagipua tidaklah mesti aku di kampung, anak Mamak masih banyak yang laki-laki.”
“Bukan soal anak Mamak banyak laki-laki, Musa. Kau Mamak yang mengandungmu, melahirkanmu dan membesarkanmu, tapi bukannya tinggal di kampung sama Mamak, malah di rantau orang. Cobalah kau pikirkan baik-baik Musa. Memang katanya mau dibawa ke Kuta Cane, itu ucapannya sebeleum menikah, nanti setelah menikah dia tidak mau. Kamu tentulah milih dia, dan tinggal di sana, sebab dia istrimu. Tidak akan kamu milih kami, ingatlah cakap, Mak. Cobalah tengok nanti.”Kalau ibu sudah berkata demikian, aku tidak pandai lagi menyangkal, tapi aku belum menyerah, aku mesti cari cara lain agar ayah dan ibu setuju. Dua hari setelah aku menelepon ayah dan ibu, aku telepon Bambkhuku, suami bibikku.
“Bambkhu, aku minta tolong, cobalah pahamkan ke ayah dan ibu agar aku bisa menikah dengan orang yang aku pilih dan aku cintai. Aku yakin cakap Bambkhu bisa membantuku.”
“Baiklah nak, Musa, akan Bambkhu coba.” Sehari setelah aku menelepon Bambkhu, datang pesan masuk lewat messenger dari adikku yang perempuan, sebab ibuku tidak pandai dengan sosial media.
“Bang, telepon ke nomor Mamak. Ada yang ingin Mamak bicarakan.” Aku sangat bahagia sekali membaca pesan dari adikku itu. Karena husnuzhon-ku adalah ibu sudah setuju berkat bantuan Bambkhu-ku, ah tidak sia-sia aku minta tolong pada Bambkhu. Aku pun menelpon ibu. Seteleh aku jawab salam dari ibu, kukira kata-kata setuju menghampiri telingaku, eh taunya:
“Musa, dengar Mak baik-baik ya, mau presiden yang kamu suruh datang ke rumah untuk menyakinkan Mak, tidak mempan, Musa, tidak mempan!”Setelah menelepon, aku murung, menyendiri, menyepi, memojok di kamarku. Sudah tidak mempan lagi aku menyakinkan ibu. Sepekan kemudian, aku turun dari lantai empat untuk membeli buah-buahan.
BACA JUGA: Jangan Baper Jika Jodoh Belum Datang
“Kurus sekali sekarang ya, Musa? Padahal sudah kurus tapi kok malah ingin diet?” sahabtaku heran melihat mukaku yang lesu, badanku kurus kering. Niatku beli buah-buahan ialah agar badanku kembali segar dan kuat. Kawanku ini sudah punya anak satu, dia juga istrinya bukan orang Aceh, istrinya orang Kalimantan. Dia sudah punya anak satu, perempuan. Aku pun curhat pada sahabatku itu.
“Aku bukan sengaja diet. Ini semua karena aku ingin menikah.”
“Kalau mau menikah yang banyak-banyaklah makan. Makan sup daging, beli daging unta.”
“Gimana mau makan daging? Sementara ibuku saja belum setuju?”
“Loh kenapa?”
“Masalah keluarga, akhii.”
“Owh gitu,saran ana antum banyakin do’a, sedekah, dan tahajud, akhii. Supaya hati ibu akhii luluh. Percayalah, doa dapat menembus penghalang apapun, apalagi hati.”
“Syukron, akhii sarannya.”
“Oh, ya, calonnya orng mana?”
“Orang Jawa.” jawabku.
“Jawanya di mana?”
“Malang.”
“Owh, Malang, semoga beruntung kahii.”
“Aamiin.”Aku pun balik ke kamar, sambil makan buah. Aku menelepon lewat whatsapp audio ke calon bidadariku.
“Dik, aku sudah menelepon ke Kampung. Tapi ibu mau kamu mesti ikut denganku ke Kuta Cane. Tinggal di kampungnya, Mas dik. Katamu kan siap dan mau. Nah tapi mas susah menyakinkan ibu. Gimana dong, dik?”
“Cobalah dengan cara yang lain, masku. Aku yakin mas pasti bisa.”
“Cara apalagi? Sudah habis semua caraku. Sepertinya sudah tidak ada cara lain lagi menyakinkan ibunya mas, dik.”
“Ayolah, mas, kalau memang mas punya keiginan dan harapan yang besar, insyaAllah jalannya terbuka. Mas sudah berusaha, sekarang tinggal doanya, Mas.” Suara calon istriku, Nadia menyakinkanku via telepon audio whatsapp. Kudengar suaranya seperti orang menangis, kutahu ia juga sedih. Syukur, kedua orangtua Nadia setuju dengan piliha anaknya untuk menikah denganku, Sehingga aku tidak susah lagi membujuk ayahnya. Awal kenapa aku bisa kenal dengan Nadia adalah karena buku, dia meresensii bukuku yang diadakan oleh penerbit, dan dialah juara satunya. Kenapa aku bisa jatuh cinta padanya? Karena dia adalah kriteriaku. Dia suka membaca, dan dia jugalah suka menulis, dan satu lagi dia kuliah kedokteran. Ingin sekali aku punya istri seorang dokter.Alasan kenapa dia suka padaku? Husnuzhon-ku adalah karena dia suka tulisanku, kedua karena aku kuliah di Al-Azhar. Tetapi aku sering berasalan lain saat dia tanya kenapa aku bisa jatuh cinta padanya.
“Coba jujur, Mas, kenapa kamu suka padaku?”
“Karena empat hal dikku.”
“Apa itu masku?”
“Pertama kamu Orang Jawa, kedua kamu cantik dan shalihah, ketiga kamu kuliah kedokteran dan keempat karena kamu perempuan.” Tidak ada kusebutkan karena dia suka nulis.Setelah menelepon dengan Nadia, aku pun mulai mengamalkan anjuran dari sahabatku itu, dan juga saran dari calon istriku Nadia, dua-duanya menyarankan padaku agar aku banyak-banyak berdoa. Aku jadi ingat keistiqamahan nabi Ibrahim yang berdoa berpuluh-puluh tahun kepada Allah, “Rabbi Habli Minasshalihiin” agar dikaruniai seorang anak yang shalih, dan akhirnya istrinya yang diponis mandul bisa memberinya keturunan juga, begitulah hebatnya doa. Aku pun mulai banyak berdo di setiap sujudku.
BACA JUGA: Tunda Nikah karena Mahalnya Biaya Walimah?
“Ya Allah, lunakkanlah hati ibuku. Aku ingin ridho ibuku, Ya Allah. Aku ingin menikah dengan Nadia. Aku ingin dia menjadi ibu dari anak-anakku.” Saat aku Ziarah ke masjid Sayyidina Husain, aku bertawasul lewat makam cucu baginda Rasul, kuutarakan niatku agar Allah melunkkan hati ibuku. Aku mulai banyak bersedekah, hampir tiap pengemis dan tuna wisma, kuberi sepeser dua peser pound yang aku punya, tak lupa kuminta doa pada mereka.
“Tolong do’akan agar hati ibuku lunak, aku ingin menikah.”
“Aamiin.” Jawab para pengemis di pinggir jalan itu. Aku shalat hajad, tahajud dan dhuha, aku banyak beshalawat, berdzikir demi mendapat ridho ibuku, karena kalau ibuku Ridho, tentu Allah jugalah ridho. Dan semuanya adalah melalui dan minta pada Allah. Aku tak kenal lelah. Satu bulan kemudia aku pun beranikan diri menelepon ke ibu. Setelah shalat tahajud aku mencabut handphone-ku dari charger, sebab kalau di Mesir jam setengah tiga, berarti di Indonesia sudah setengah delapan, tentu itbuku sudah selesai masak pagi dan sedang santai di depan rumah atau di ruang tamu.
“Apa kabar kamu nakku, Musa? Sudah lama tidak menelepon, ada apa? Ibu rindu kamu, nak.”
“Ya, Mak, Musa juga rindu. Musa sehat, Mak.” Belum sempat aku memulai topik tentang menikah, ibuku sudah memulainya.
“Pulanglah, Nak. Ayo kita melamar Nadia calon menantu, Mamak.”
“Hah? Mamak serius?”
“Cepatlah pulang selagi hati Mak sedang lunak.”
“Alhamdlillah Ya Alllah. Terimakasih, Mak. Baiklah minggu depan aku pulang, mumpung sekarang musim panas dan kami libur panjang.”Sungguh bukan main senangnya aku! Seakan duani ini adalah milikku seorang! Seakan aku baru merdeka dari jajahan Belanda atas Indonesia! Tidak dapat kugambarkan kebahagiaanku yang sebenatar lagi jadi pegantin dan meminang gadis Jawa. Soal kenapa aku suka gadis Jawa? Tidaklah sesingkat aku mengenal Nadia karena buku. Tetapi memang sejak aku masih kelas satu smp dulu, sejak aku sudah umur belasan, aku telah kagum pada gadis jawa. Ada bebarapa faktor. Pertama, karena ustadzah-ustadhku yang dari jawa kulihat ciri kecantikannya berbeda, ada manis-manisnya saat mereka tersenyum, persis seperti Nadia saat mengunggah photonya di akun instagram miliknya. Kedua karena tutur katanya yang menurutku amat lembut, tidak terasa keras dan kasar seperti orang sumatera pada umumnya, meskipun memang orang sumatera adalah kebanyakan melayu. Dan kami orang Kuta Cane Aceh Tenggara jugalah mirip-mirip cara bertututr katanya orang melayu. Ketiga, karena memang aku ingin berbeda dengan abang-abangku yang semuanya menikah dengan satu daerah, desanya dekat-dekat pula. Aku sendiri ingin punya istri orang jauh. Dulu tahun pertama aku sampai di Al-Azhar Mesir, aku ingin sekali istriku orang Mesir. Tapi sulit untuk dimungkinkan, karena orang mesir seleranya tinggi! Aku penuh kekurangan, hitam, kurus, dan pesek. Hanya satu modalku, yaitu tinggiku.Sepekan kemudian aku pun pulang ke Acegh Tenggara. Aku di sambut keluargaku begitu istimewanya sehingga rumah kami penuh. Sepertinya ibuku mengundang satu desa ke rumah kami. Sedangkan aku tidak bawa oleh-oleh apapun, hanya bawa badan dan pakaianku dalam tas rense milikku. Padahal ini adalah hari pulang pertama kali setelah tiga tahun di Mesir. Dua haridi rumah, aku, ayahku, ibuku, bambkhu-ku datang ke Jawa, untuk melamar Nadia.
“Kenapa lah jauh kali ke Jawa jodohmu, Musa?”
“Mak, usahlah ditanya lagi. Katanya Mamak sudah setuju.”
“Ya Mamak sudah setuju, tapi kenapa mesti orang Jawa? Orang kuta Cane kan banyak Nak?”
“Banyak, tapi tidak seperti Nadia, Mak.”
“Apanya yang tidak seperti Nadia?”
“Rupanya, alisnya, senyumnya, putihnya, hidungnya, matanya,”
“Emang kamu pernah ketemu dengan Nadia sebelumnya?”
“Belum pernah. Tapi kan aku sudah tunjukkan photonya ke, Mamak.”
“Nan-nak, zama sekarang masih percaya sama photo. Sekarang ini semuanya palsu, tidak ada yang asli. Memanglah photonya yang cantik pula dia pilih untuk dikirim ke kamu agar kamu tergoda.”
“Mak, tidak boleh buruk sangka, kuyakin aslinya lebih cantik, Mak.”
“Mana pula lebih cantik! Photo yang dikirim ke kamu itu saja sudah palsu, dia pasti lebih jelek dari itu,” Ibuku ngomel-ngomel dalam pesawat. Aku sudah malas menyahut. Kalau aku ladeninpasti tidak habis-habis hingga tiba di depan rumah Nadia nantinya. Aku memilih diam saja, tapi ibuku masih mengomel sendirinya.
“Belum pernah ketemu tapi sudah melamar, duh jodoh zaman sekarang begitu singkat,” kata ibuku melanjutkan. Aku diam menatap ke luar jendela, kulihat awan-awan yang cerah, petanda awan itu berpihak padaku, bukan pada ibuku yang sekarang setengah setuju.
“Sudahlah turun saja kita, balik lagi ke Kuta Cane. Nanti ibu pilihkan jodoh yang mirip Nadia, di Aceh Tenggara juga banyak!”
“Mak, kita ini sedang di udara, di atas awan, Mak. Mana bisa turun, kalau mau pulang nanti lah kalau sudah sampai.” Kataku sedikit jengkel sebenarnya, tapi aku tidak marah, aku sayang ibuku. Kalau dia benar-benar tidak setuju, aku hanya menurut, kalau katanya balik saat tiba di bandara tujuan nantinya, ya aku ngikut saja. Karena memang aku hanya ingin ridho ibuku.Tiba-tiab kudengar suara ayahku dari kursi duduk belakang.
“Udah, Mamakmu memang begitu, usah disahuti. Nanti kalau dia sudah bosan mengomel dia akan berhenti sendiri.” Kami pun tiba di bandara Abdurrahman Saleh, kulihat ibu diam. Ibuku mengikuti jejak langkah kami. Walaupun senyumnya belum manis. Aku mengikuti rute sesuai dengan yang Nadia berikan. Benar memang, aku belum pernah ketemu Nadia. Tapi aku yakin dia tidak berbohong, soal lamaranku ini sudah aku pastikan akan diterima ayahnya seratus persen. Karena memang Nadia lah yang memaksakuagar segera menikahinya dan dia sudah memberitahu ayahnya terlebih dahulu. Tidak berapa lama kami pun sampai di kampung Pakis, taksi yang kami naikki tiba di epan rumah Nadia yang di pinggir jalan.Kami disambut oleh keluarga Nadia. Sambutan yang luar biasa, santun, ramah, indah dan bahagia. Ayah dan bambkhu-ku duduk di rung tamu. Aku dan ibu dipersilakan masuk ke dalam kamar kosong yang sudah disediakan. Ibu lelah dan ia baringan, tiba-tiba ibu bicara setelah kian lama ia membisu sejak dari bandara tadi.
“Ramah betul orang Jawa, Nak. Tidak sia-sia kamu cari istri orang Jawa.” Alhamdulillah, komentar pertama ibuku begitu mantap. Itu adalah petanda hatinya semakin lunak karena terkesan dengan tutur kata keluarga Nadia, itulah kesan pertama ibu. Aku pun langsung menelepon Nadia, aku belum melihantnya padahal aku sudah ada di dalam rumahnya. Tadi waktu di taksi aku chating-an mulu dengannya minta diarahkan ke alamat rumahnya, sebenarnya supir taksi sudah tahu. Teleponku tidak dia angakat.
BACA JUGA: Cinta Dulu atau Akad Nikah Dulu nih?
“Dik, kamu di mana? Aku sudah sampai loh di rumahmu.” Pesanku via whatsapp.
“Ini aku di kamarku, Mas. Persis di samping kamar yang mas tempati.”
“Keluarlah kalau begitu.”
“Aku malu, Mas.”
Keluarga Nadia adalah goglogan menengah ke atsas dari segi ekonomi, rumahnya luas dan mewah. Tapi aku datang kemari bukan karena ekonominya, tapi memang karena cinta, dia adalah Nadia. Tapi bukannya disambut, dia malah bersembunyi. Timbul dalam hati ada niat ingin memnghukumnya nanti kalau sudah suami-istri. Seperti hukuman: harus mebuatkanku minuman jus selama seminggu. Karena memang mestinya kalau ada tamu haruslah dia yang menghidangkanku minuman, oh iya mungkin karena belum halal, jadi dia punya alasan untuk bersembunyi. Setelah satu jam istirahat, acara lamaran pun digelar di ruang tamu. Aku dan keluargaku sudah berada di ruang tamu, demikian juga keluarga Nadia, terkecuali Nadia yang belum hadir. Sebelum pembicaraan dimulai, ibunya memanggilnya dan Nadia pun keluar dari kamarnya. Kulihat, masyaAllah, bukan main indahnya! ciptaaan, Allah. Dia keluar dengan pakaian jilbaber, kerudung cokelat, tampak ayu! Photo cantik yang dia kirim dikalahkan dengan yang aslinya. Sekarang aku semakin mengakui kecantiakn gadis Jawa yang satu ini! Yang sebentar lagi bakal jadi calon istriku! Ibuku langsurng berdiri, memeluk dan mencium kedua belah pipi Nadia calon menantunya, kulihat pipi Nadia mulai memerah, padahal ibuku tidak memakai lipstik. Entah karena malu atau sangkinkan putihnya, sepertinya disentuh angin pun akan memerah.
“Duhh, cantiknya kamu, Nak!” komentar kedua ibuku sewaktu mencium Nadia.
“Astagfirullah..” ucapku menyadarkan lamunanku karena menatap wajahnya. Bukan main indahnya! Tidak patut kusebutkan dan kugambarkan bentuk kecantikan perempuan shalihah yang jadi istriku ini, sehingga aku berpikir ingin menyuruhnya bercadar, agar aku tidak cemburu sepanjang waktu karena akan banyak lelaki yang memandang wajahnya!
“Kami rasa tidak pelu lagi acara khitbah, langsung saja menikah. Jadi keluarga dari mempelai laki-laki tidak repot laki pulang-pergi ke Aceh.” Begitu saran terbaik keluarga Nadia.
“Kami senang dan setuju.” Sahut ibuku dengan segera.
“Tapi..,” Nadia angkat bicara. Duh bukan main merdunya kalimat “tapi” itu dari mulutnya, ini adalah kali pertama aku melihat dua belah bibirnya yang indah itu terbuka karena ia mulai bicara.
“Syarat apa , Dik?” tanyaku.
“Pertama, aku tidak mau dimadu, kedua aku ingin tetap tingggal di rumah ibuku, dan,” belum selesai Nadia bicara, ibu mencubitku dari samping saat dia dengar syarat kedua yang diajukan Nadia harus “tinggal di rumah ibunya” aku pun heran dengan syarat itu. Karena memang selama ini sengaja dirahasiakan Nadia, kalaulah syarat itu kutahu dan ibu juga tahu, mungkin amat sulit aku dan keluargaku bisa sampai di tanah Jawa ini.
“Syarat ketiga, bila aku dibawa ke Mesir, dan tinggal di sana minimal satu tahun, maka sayarat kedua boleh dibicarakan di belakang hari.”
“Baiklah, aku terima syarat-syaratmu.” Kemudian ditentukanlah hari menikah kami sesegera mungkin. Empat hari seteah hari ini. Sampai di kamar ibuku pun mulai berkata.
“Tu kan, Musa, dia nggak mau dibawa ke Kuta cane, apa mamak bilang? Orang luar daerah susah melepas anaknya!”
BACA JUGA: Sekarang Engkau Sudah Bisa Melihat, Maukah Menikah denganku?
“Tapi dia mau ke Kuta Cane nantinya kalau sudah kubawa ke Mesir, Mak.”
“Ya, semoga begitu, Nak.”
“Mak, cobalah jujur, Mamak benar-benar setuju kan kalau aku menikah dengan Nadia?”
“Hummm,”
“Jujurlah lah, Mak.”
“Awalnya Mak tidaklah setuju karena takut kehilanganmu di hari tua Mamak. Tapi, saat kamu menelepon ktika masih di Kairo dan Mak suruh pulang, itu hati Mak sudah terang. Ditambah lagi terangnya hati Mak saat tiba di rumah calon mertuamu ini, Musa. Apalagi saaat melihat wajah istrimu, belum pernah Mak lihat secantik Nadia di kampung kita! Beruntunglah kamu mendapatkannya, Nak.”
“Alhamdulillah, Allahamdullihi rabbil ‘aalamin., Makasih, Mak.” Aku peluk ibuku, aku sujud syukur mendengar komentar ketiga dari ibuku. Bukan main senangnya hatiku. Hari itu aku merasa benar-benar merdeka. Kau tahu, Kawan? Merdeka bagiku adalah saat aku mampu menyakinkan ibuku, saat aku mampu merangkul dua pulau; Jawa dan Sumatera, saat kedua keluarga kami tidak lagi merasa asing dan berselisih soal adat dan suku, saat aku bisa menyatukan dua rasa; pedas dan manis.Merdeka itu adalah saat aku akhirnya menikah denganmu duhai kekasihku, istriku, Nadia. []
Darrasah-KairoKamis, 2 Agustus 2018.
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.