DALAM melaksanakan shalat, ada beberapa pendapat mengenai boleh atau tidaknya memejamkan mata. Berikut penjelasanya.
Terdapat sebuah hadis dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melakukan shalat maka janganlah memejamkan kedua mata kalian.”
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Thabrani (w. 360 H) dalam Mu’jam as-Shagir no. 24. dari jalur Mus’ab bin Said, dari Musa bin A’yun, dari Laits bin Abi Salim.
Hadis ini dinilai dhaif oleh para ulama pakar hadis, karena dua alasan,
1. Laits bin Abi Salim dinilai dhaif karena mukhtalat (hafalannya kacau), dan dia perawi mudallis (suka menutupi).
2. Mus’ab bin Said, dinilai sangat lemah oleh para ulama. Ibnu Adi mengatakan tentang perawi ini, “Beliau membawakan hadis-hadis munkar atas nama perawi terpercaya dan menyalahi ucapan mereka. Status dhaif hadisnya sangat jelas,” (al-Fatawa al-Haditsiyah, al-Huwaini, 1/45 – 46).
Kesimpulannya, hadis di atas adalah hadis dhaif dan Imam ad-Dzahabi (w. 748 H) menilainya munkar. Karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil.
Hanya saja para ulama menegaskan, memejamkan mata ketika shalat hukumnya makruh. Kecuali ketika hal ini dibutuhkan, karena pemandangan di sekitarnya sangat mengganggu konsentrasi shalatnya.
Mengenai alasan dihukumi makruh, ada beberapa keterangan dari para ulama, diantaranya,
a. Memejamkan mata ketika shalat, bukan termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnul Qoyim (w. 751 H) mengatakan,
”Bukan termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memejamkan mata ketika shalat,” (Zadul Ma’ad, 1/283).
b. Memejamkan mata ketika shalat, termasuk kebiasaan shalat orang Yahudi. Dalam ar-Raudhul Murbi’ – kitab fikih madzhab Hambali – pada penjelasan hal-hal yang makruh ketika shalat, dinyatakan, ”Makruh memejamkan mata ketika shalat, karena ini termasuk perbuatan orang Yahudi,” (ar-Raudhul Murbi’, 1/95).
c. Karena memejamkan mata bisa menyebabkan orang tertidur, sebagaimana keterangan dalam Manar as-Sabil (1/66).
Untuk itu, sebagian ulama membolehkan memejamkan mata ketika ada kebutuhan. Misalnya, dengan memejamkan mata, dia menjadi tidak terganggu dengan pemandangan di sekitarnya.
Jadi Kesimpulan yang benar, jika membuka mata (ketika shalat) tidak mengganggu kekhusyuan, maka ini yang lebih afdhal. Tetapi jika membuka mata bisa mengganggu kekhusyuan, karena di arah kiblat ada gambar ornamen hiasan, atau pemandangan lainnya yang mengganggu konsentrasi hatinya, maka dalam kondisi ini tidak makruh memejamkan mata. Dan pendapat yang menyatakan dianjurkan memejamkan mata karena banyak gangguan sekitar, ini lebih mendekati prinsip ajaran syariat dari pada pendapat yang memakruhkannya, (Zadul Ma’ad, 1/283). []