SETIAP orang tentunya membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Termasuk Rasulullah SAW. Beliau bekerja sebagai pedagang untuk menunjang kehidupanya. Padahal beliau adalah orang yang paling dekat dengan Allah SWT namun beliau tetap memilih untuk bekerja.
Kita mengenal banyak pekerjaan di dunia ini. Salah satunya adalah berdagang. Membeli sesuatu lalu menjualnya atau dalam sastra melayu sering dibilang jadi “saudagar.” Pekerjaan ini janganlah diremehkan.
BACA JUGA: Di Akhir Zaman, Hindari Pekerjaan-Pekerjaan Ini
Abu Said meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para Nabi, shiddiqien, dan syuhada.”
Subhanallah, betapa Nabi begitu memuji saudagar yang jujur, sehingga beliau memasukkannya dalam golongan para Nabi. Namun, di kesempatan lain Nabi memperingatkan bahwa pasar adalah tempat di mana kita harus berhati-hati.
Menjadi pedagang memanglah tidak mudah, apa lagi menjadi pedagang yang jujur. Rasulullah SAW tahu benar hal ini karena ia adalah seorang pedagang.
Abdullah bin Umar adalah pedagang yang sukses. Demikian pula dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman yang kekayaannya diperoleh dari berdagang. Mereka menginfakkan sepertiga, separuh, bahkan seluruh harta untuk Islam.
Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Nabi yang disebutkan satu dari sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ia seorang pedagang yang sukses, dan saat berhijrah ia meninggalkan semua harta yang telah ia usahakan sekian lama. Namun saat telah di Madinah, beliau kembali menjadi seorang yang kaya raya. Saat meninggal, wasiat beliau adalah agar setiap pejuang perang Badar yang masih hidup mendapat empat ratus dinar.
BACA JUGA: Saat Maraknya Penghasilan dari Pekerjaan Haram
Golongan orang yang masuk surga tanpa hisab adalah ulama, orang kaya yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, mujahidah yang mati syahid, dan haji mabrur.
Dikisahkan, ketika dipersilahkan masuk surga terlebih dahulu, haji mabrur menolak dengan alasan harus ulama terlebih dahulu karena ia tahu hukum-hukum haji dari gurunya yang seorang ulama. Begitu pula mujahid, ia tidak akan mengetahui keutamaan jihad kalau tidak ada ulama yang mengajarkannya. Tetapi ketika ulama dipersilahkan, ia malah mempersilahkan orang kaya terlebih dahulu. Karena ia menganggap jika karena bukan bantuannya, misalnya bangunan-bangunan Islami yang dibiayai oleh orang kaya, si ulama tidak mungkin dapat berdakwah. []
Sumber: Tangan-tangan yang dicium Rasul/Syahyuti/Pustaka Hira