Oleh: Ratna Dewi Idrus
Penulis buku dan Ibu Rumah Tangga Tinggal di Banjarmasin
NABI Ibrahim AS adalah orangtua yang penyayang dan berperasaan sangat halus sebagaimana nama beliau, Ibrahim. Ibrahim berasal dari bahasa Suryani yang rumpun asalnya bersamaan dengan bahasa Arab. “Ibrahim” merupakan gabungan dari dua kata, yaitu Ib dan Rahim. Ib sama artinya dengan Abun dalam bahasa Arab, yaitu bapak atau ayah. Rahim dalam bahasa Suryani sama artinya dengan Rahim dalam bahasa Arab, yaitu penyayang. Jadi, Ibrahim berarti ayah yang penyayang.
Nabi Ibrahim sangat lembut hati lagi penyantun. Ia senantiasa menyempurnakan janji, taat pada Allah, dan istiqamah. Ia sangat beradab dengan adab yang diajarkan Allah kepadanya, hal ini tercermin saat beliau memohon dan berdoa kepada Allah.
BACA JUGA: Kepergian Ibrahim, Putra Tercinta Rasulullah
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Hajar―sahaya yang dipilih Sarah untuk Nabi Ibrahim―hamil dan melahirkan anak bernama Ismail. Sebagai seorang istri, hati siapa yang tak cemburu? Begitulah yang dialami Sarah ketika melihat hadirnya Ismail di tengah keluarganya.
Siti Hajar tahu kecemburuan Sarah. Bagaimanapun, ia tak ingin menyakiti Sarah yang telah begitu baik padanya. Hajar pun tahu situasi seperti ini tak baik untuk pertumbuhan anaknya. Akhirnya, Allah memberi putusan bagi Hajar untuk berhijrah karena Allah Mahatahu yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membawa Ismail dan Siti Hajar.
Saat hendak berangkat, Hajar mengenakan ikat pinggang guna mengikat pakaiannya agar terjuntai ke tanah untuk menutupi jejak kakinya. Tujuannya adalah agar tidak diketahui Sarah. Hajar adalah wanita pertama yang membuat ikat pinggang. Nabi Ibrahim membawa istri dan anaknya yang masih menyusu itu dan menempatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi pohon dauhah―pada bagian atas sumur Zamzam dan Masjidil Haram menurut perkiraan sekarang.
Dengan berbekal tempat makanan berisi kurma dan tempat minum berisi air, Ibrahim meninggalkan keduanya. Siti Hajar mengikutinya dan bertanya, “Hendak ke manakah, wahai Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada teman atau apa pun?”
Hajar mengulang pertanyaannya beberapa kali. Saat dilihatnya Ibrahim hanya diam, segera ia tersadar. “Apakah Allah yang menyuruhmu berbuat demikian?” tanyanya dengan kecerdasan luar biasa.
“Benar,” jawab Ibrahim.
“Jika demikian, maka Allah tak akan menelantarkan kami.” Kemudian Hajar kembali ke tempat semula, sedangkan Ibrahim melanjutkan perjalanannya.
Nabi Ibrahim AS, bukanlah pergi atas kemauannya sendiri. Semua itu adalah atas perintah Allah. Dengan berat hati ia melanjutkan perjalanan sampai ke Tsaniah, di mana istri dan anaknya tak lagi bisa melihatnya. Bagaimanakah hati seorang ayah? Baru saja merasa senang karena mendapat seorang anak, sudah harus berpisah.
Ayah yang begitu penyayang itu tentulah sedih. Namun, Nabi Ibrahim yakin Allah menginginkan yang terbaik untuk hamba-Nya. Nabi Ibrahim menghadapkan wajahnya ke Baitullah seraya mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi rumah-Mu yang suci. Mudah-mudahan mereka berterima kasih.”
Sementara itu, Siti Hajar menyusui Ismail kecil dan minum dari tempat perbekalannya. Setelah air itu habis, ia kehausan. Demikian pula anaknya. Siti Hajar memperhatikan anaknya yang berguling-guling kehausan. Ia tak tega. Dengan penuh cinta, ia beranjak pergi mendaki Bukit Shafa. Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan lokasi air. Ketika tak menemukan apa yang dicarinya, ia menaiki Bukit Marwah. Terus-menerus seperti itu sebanyak tujuh kali, sampai datanglah pertolongan Allah. Tiba-tiba air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang menangis karena kehausan.
Hajar takjub dan berkata, ”Zamzam, zamzam. Berkumpul-berkumpul.” Ia segera membuat kolam kecil agar air Zamzam tak kemana-mana.
Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada bunda Ismail, Siti Hajar. Jika ia membiarkan Zamzam atau jika ia tidak membuat kolam, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”
Siti Hajar minum lalu menyusui anaknya. Dengan limpahan karunia berupa air yang diberikan Allah kepadanya, banyak manusia singgah dan menetap di sana hingga ramailah tempat itu. Peristiwa mendaki Bukit Shafa dan Bukit Marwah diabadikan Allah sebagai salah satu rukun haji dan umrah. Tujuannya adalah agar kita yakin bahwa Allah tak akan menyia-nyiakan kita jika kita senantiasa patuh dan berusaha semaksimal mungkin dalam kehidupan ini, termasuk dalam berjuang untuk anak-anak kita.
BACA JUGA: Berpegang pada Ajaran Ibrahim, Semua Agama Sama?
Siti Hajar mengerti Allah sangat menyayanginya. Ia yakin Allah akan selalu menolongnya. Allah Yang Maha Membalas kebaikan hamba-hamba-Nya mengabadikan namanya sampai sekarang. Siti Hajar tetap dikenang orang sampai sekarang.
Apa pelajaran yang kita petik dari kisah Hajar? Ya, keyakinan bahwa Allah sangat menyayanginya. Ia juga tidak hanya berpangku tangan dalam menghadapi situasi sulit. Saat anak tercintanya kehausan, ia berusaha mencari air dengan mendaki bukit sebanyak tujuh kali. Ini usaha yang sungguh luar biasa.
Ya, tugas kita hanya berusaha. Meskipun Siti Hajar mengitari Bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, Allah tidak memberikan apa yang ia butuhkan. Allah justru memberikan apa yang dibutuhkannya di tempat yang tak pernah ia duga. Begitu pula dengan kita.
Mempelajari kisah ini semoga membawa kita lebih bersemangat menjalani hidup dan tidak putus asa berjuang dalam menghadapi ujian. Sesungguhnya Allah menempa diri kita supaya menjadi orangtua yang lebih berkualitas. Allah menginginkan kita menjadi orangtua yang lebih bijak, lebih tangguh, dan melakukan lebih banyak amal saleh. Inilah modal utama kita untuk menjadi pendidik yang penuh cinta. Subhanallah.
Penuh cinta
Jikalau kita menghadapi anak-anak dengan kemarahan, ketidaksabaran, ataupun keluhan, wajah-wajah mereka akan mengerut bahkan mungkin balik melawan kita. Mereka akan mudah marah menghadapi sesuatu karena sesungguhnya kitalah yang mengajarkannya untuk marah, tak sabar, ataupun suka mengeluh. Terkadang tingkah mereka bahkan menyulut emosi kita.
Allah yang menciptakan kita sungguh mengerti bagaimana hamba-Nya hingga menasihati kita dengan firman-Nya, “penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al-Waqiah [56]: 37)
Di dalam ayat ini Allah melukiskan hati wanita surga (bidadari) yang Ia ciptakan, yaitu penuh cinta. Hati yang penuh rasa cinta kasih dan mampu mencurahkannya untuk orang-orang yang dikasihinya. Sesungguhnya sifat inilah yang Allah kehendaki bertakhta di hati kita agar kita mampu mendidik anak-anak sehingga mereka tumbuh cemerlang.
Teringatlah saya pada apa yang disampaikan Ustaz Mohammad Fauzil Adhim dalam seminarnya. Ia mengatakan bahwa menurut para ahli, anak-anak yang sukses bukanlah dibesarkan oleh orangtua yang hebat ataupun cerdas melainkan oleh orangtua―terutama ibu―yang penuh cinta dan tulus dalam mendidik anak-anaknya. Ia juga menyampaikan bahwa sebagian besar orang sukses terlahir dari keluarga yatim. Ini mungkin karena anak-anak tumbuh dalam suasana penuh cinta dan tidak pernah melihat kedua orangtua mereka bertengkar. Mereka hanya melihat seorang bunda tangguh yang senantiasa bercerita tentang kebaikan sang ayah untuk menjadi contoh teladan bagi sang anak seperti, “Ayahmu itu, Nak, orang luar biasa….”
Sekali lagi saya tersentuh dengan kata “penuh cinta” yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an manakala mendeskripsikan sifat bidadari di surga, “penuh cinta lagi sebaya umurnya”. Juga pesan Rasulullah saw., kepada para lelaki untuk menikahi wanita muda karena perkataannya manis dan rela dengan nafkah yang sedikit.
Modal terbesar “penuh cinta” inilah yang mengantarkan anak-anak kita pada kecemerlangan berpikir. Insya Allah mereka akan menjadi manusia-manusia besar. Amin ya Rabb. []