PATUT diingat bahwa apa yang dilakukan Nabi ﷺ, seperti ber-khalwat di Gua Hira, bukanlah merupakan sunnah bagi sahabat dan umatnya yang datang setelahnya untuk melakukan hal yang sama. Dalam kenyataannya, tidak ada satu pun dari sahabat yang pernah melakukannya karena mereka meyakini hal tersebut bukanlah ibadah dan Gua Hira bukan pula tempat yang berkah.
Sebagian orang berlebihan hingga mengatakan bahwa kenabian itu adalah perkara yang dapat diusahakan. Salah satunya dengan cara ber-khalwat atau bertapa di dalam gua sebagaimana keyakinan Ibnu Sina dan para ahli filsafat. Meyakini hal demikian merupakan kekufuran. Seandainya memang benar demikian, manusia pasti akan berlomba-lomba untuk mengusahakannya lalu muncullah nabi-nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ. Padahal, Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya akan ada pada umatku 30 orang pendusta yang mengaku nabi. Padahal, akulah penutup para nabi. Tidak ada lagi nabi sesudahku.” (HR. Tirmidzi No. 2219)
BACA JUGA: Ciri-Ciri Orang Beriman: Penjelasan Surah Al-Balad (90) ayat 17
Apa yang dilakukan Nabi dengan ber-khalwat di Gua Hira tidak ada hubungannya dengan diangkatnya beliau menjadi Nabi. Hal tersebut dilakukan semata untuk ber-tahannuts atau merenungan keagungan Allah atau untuk menjauhkan diri dari kerusakan kaumnya yang pada saat itu tenggelam dalam kesyirikan dan kemaksiatan.

Jadi, beliau melakukan itu sama sekali bukan agar diangkat menjadi Nabi. Oleh karena itu, ketika Jibril mendatanginya, Nabi juga kaget dan bahkan merasa takut ada keburukan yang akan menimpanya. Seandainya Nabi berniat ingin menjadi seorang Rasul, siapa yang ingin mengajari atau membimbingnya?
Demikian pula nabi-nabi sebelumnya. Tidak ada yang melakukan seperti apa yang dilakukan Nabi ﷺ karena kejadian setiap nabi ketika diangkat menjadi rasul pun berbeda-beda. Nabi hanya menjauhkan dirinya dari para kaum musyrikin Mekkah dengan ber-khalwat di Gua Hira. Lalu, tiba-tiba turunlah malaikat Jibril membawa wahyu kepada beliau.
Dalam kisah di atas dinyatakan bahwa Nabi tidak dapat membaca ketika disuruh Jibril untuk membaca. Beliau adalah seorang yang ummiy atau tidak bisa membaca dan menulis. Allah sengaja menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad yang tidak dapat membaca dan menulis agar menjadi bukti Al-Quran itu datangnya dari Allah dan bukan karangan Nabi sendiri. Seandainya Muhammad dapat membaca dan menulis, orang-orang musyirikin akan menuduh Al-Quran sebagai karangan Muhammad. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surah Al-‘Ankabut (29) ayat 48:
وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهٖ مِنْ كِتٰبٍ وَّلَا تَخُطُّهٗ بِيَمِيْنِكَ اِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ
Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Quran) dan engkau tidak (pernah) menulisk suatu kitab dengan tangan kananmu. Sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.
Para ulama berselisih pendapat tentang keadaan Nabi yang tidak bisa baca tulis ini berlangsung sampai meninggal dunia atau semasa hidupnya beliau akhirnya bisa baca tulis. Namun, para ulama me-rajih-kan pendapat bahwa Nabi tidak bisa membaca dan menulis sampai beliau meninggal dunia.

BACA JUGA: Perihal Keistimewaan Nama Nabi Muhammad ﷺ
Fakta ini untuk menunjukkan bahwa Al-Quran seluruhnya turun dari Allah. Namun, mereka tetap saja menuduh
Nabi berdusta. Sebagaimana perkataan mereka dalam Al-Quran Surah Al-Furqon (25) ayat 5. Allah berfirman:
وَقَالُوْٓا اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلٰى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا
Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan. Lalu, dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.”
Akan tetapi, karena bahasanya yang tinggi dari sisi balaghah-nya sehingga tidak mungkin turun melainkan lansung dari Allah, banyak orang musyrikin langsung masuk Islam ketika mendengarkan Al-Quran pada saat itu.[]
Sumber: Tafsir Juz Amma, karya Ust. Firanda Andirja | Pusat Studi Quran