PEMIKIRAN ekonomi Islam diawali sejak Muhammad ﷺ dipilih sebagai seorang Rasul (utusan Allah). Rasulullah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqh), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamlah).
Maslah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah yang harus diperhatikan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasullullah bersabda “kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”.
Maka upaya mengantas kemiskinan merupakan dari kebijakan-kebijakan social yang dikeluarkan Rasulullah.
Selanjutnya kebijakan-kebijakan tersebut menjadi pedoman oleh para penggantinya Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, dan Ali Bin Abi Thalib dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi.
BACA JUGA: Pasar Sebagai Pusat Perekonomian Islam
Al-Qur’an dan al-Hadis digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata perekonomian Negara.
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Arab Jahiliyah dan Pada Masa Pemerintahan Nabi Muhammad SAW (571-632M)
Sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern, ilmu ekonomi Islam memang baru muncul pads tahun 1970-an. Tetapi, benarkah pemikiran tentang ekonomi Islam jugs merupakan fenomena baru pads abad 20? Ternyata tidak! Pemikiran tentang ekonomi Islam ternyata telah muncul sejak lebih dari seribu tahun lalu, bahkan sejak islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad ﷺ.
Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi khazanah pemikiran ekonomi dunia, pada masa di mana Barat masih claim kegelapan (dark age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang.
Pada masa Arab pra-Islam atau yang sering disebut masa jahiliyah sudah biasa melakukan transaksi berbau riba. Ath-Thabari menyatakan: “Pada masa jahiliyah, praktik riba terletak pada penggandaan dan kelebihan jumlah umur satu tahun. Misalnya, seorang berhutang. Ketika sudah jatuh tempo, datanglah pemberi hutang untuk menagihnya seraya berkata, ‘Engkau akan membayar hutangmu ataukah akan memberikan tambahan (bungs) nya saja kepadaku?
Jika ia memiliki sesuatu yang dapat ia bayarkan maka ia pun membayarnya. Jika tidak, maka ia akan menyempurnakannya hingga satu tahun ke depan. Jika hutangnya berupa ibnatu makhadh (anak unta yang berumur satu tahun), maka pembayarannya menjadi ibnatu labun (anak unta yang berumur dua tahun) pads tahun kedua.
Kemudian la akan menjadikannya hiqqah (anak unta yang berumur tiga tahun), kemudian menjadikannya jadzah (unta dewasa). Selanjutnya kelipatan empat ke atas.”
Juga dalam hal hutang emas ataupun uang, berlaku riba. Sebagai pelaku ekspor impor, jazirah Arab memiliki pusat kota tempat bertransaksi yaitu kota Makkah.
Kota Makkah merupakan kota suci yang setup tahunnya dikunjungi, terutama karena disitulah terdapat bangunan suci Ka’bah. Selain itu di Ukaz terdapat pasar sebagai tempat bertransaksi dari berbagai belahan dunia dan tempat berlangsungnya perlombaan kebudayaan (puisi Arab).
Oleh karena itu kota tersebut menjadi pusat peradaban balk politik, ekonomi, dan budaya yang penting. Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi internasional, yaitu menghubungkan Makkah ke Abysinia seterusnya menuju ke Afrika Tengah.
Dari Makkah ke Damaskus seterusnya ke daratan eropa. Dari Makkah ke al-Machin (Persia) ke Kabul, Kashmir, Singking (Sinjian) sampai ke Zaitun dan Canton, selanjutnya menembus daerah Melayu. Selain itu jugs dari Makkah ke aden melalul laut menuju ke India, Nusantara, hingga Canton (al-Haddad).
BACA JUGA: Pandangan Imam Al-Ghazali Mengenai Ekonomi
Hal ini menyebabkan masyarakat Makkah memiliki peran strategis untuk berpartisipasi dalam dunia perekonomian tersebut.
Mereka digolongkan menjadi tiga, yaitu para konglomerat yang memiliki modal, kedua, para pedagang yang mengolah modal dan’ para konglomerat, dan ketiga, para perampok dan rakyat biasa yang bemberikan jaimian keamanan kepada para khafilah pedagang dari peranatuan, mereka mendapatkan labs keuntungan sebesar sepuluh persen.
Para pedagang tersebut menjual komoditas itu kepada para konglomerat, pejabat, tentara, dan keluarga penguasa, karena komoditas tersebut mahal, terutama barang-barang impor yang harus dikenai pajakyang sangat tinggi.
Alat pembayaran yang mereka gunakan adalah koin yang terbuat dari perak, emas atau logam mula lain yang dittru dari mata uang Persia dan Romawi. Sampai sekarang koin tersebut masih tersimpan disejumlah museum di Timer Tengah.
BACA JUGA: Atasi Kesenjangan Ekonomi dengan Islam
Dari berbagai sumber sejarah diketahui bahwa mata uang pada masa jahiliyah dan pada masa permulaan Islam, terdiri, dari dua macam: dinar dan dirham.
Mata uang dirham terbuat dari perak, terdiri dari tiga jenis: Bughliyah, Jaraqiyah, dan Thabariyah. Ukurannya beragam. Bughliyah beratnya 4,66 gram, Jaraqiyah beratnya 3,40 gram, dan Thabariyah beratnya 2,83 gram. Sedangkan mata uang dinar terbuat dari emas.
Pada masa jahiliyah dan pada permulaan Islam, Syam dan Hijaz menggunakan mata uang Dinar yang seluruhnya adalah mata uang Romawi. Mata uang ini dibuat di negeri Romawi, berukiran gambar raja, bertuliskan huruf Romawi. Sate dinar pada masa itu setara dengan 10 dirham. []
SUMBER: DEFINISIWIRAUSAHAMENURUTAHLI