Oleh: Raidah Athirah
Penulis, Tinggal di Polandia
“Pelukan dapat membuat sejumlah besar kebaikan khususnya untuk anak-anak,” (Putri Diana).
SEPERTI anak-anak yang lain, ia mencintai pelukan. Secara fisik ia sungguh tak berbeda dengan kebanyakan anak-anak Polandia pada umumnya. Di usia yang sudah hampir lima tahun, ia justru lebih bersikap ekspresif; memeluk, mencium, dan tentu saja berjabat tangan.
Itulah Aisha. Putri kami.
Sekilas orang-orang baru yang bertemu tak akan menemukan hal khusus pada fisiknya. Ia tak jauh beda dengan perawakan Abu Aisha atau lebih tepatnya ia adalah copy-paste ibu mertua di masa kecil, memiliki bola mata hazel dan rambut pirang gelap. Semakin tumbuh, ia semakin terlihat kontras dengan perawakanku yang berpostur dan berkulit orang Indonesia.
Bila kami berdua bermain di taman, anak-anak remaja kadang mendekat dan bertanya-tanya mengenai ‘siapa aku’ baginya. Saat menjawab bahwa Aisha adalah putriku, mereka tertawa karena menyangka wanita sepertiku umumnya adalah pengasuh dari Asia yang senang bermain dengan anak-anak.
Kami ingin memahami dunianya bukan memaksa ia memahami dunia kami saat ini. Di awal saat ia mengalami regresi (penurunan) dan kami benar-benar tidak mengerti kami melakukan banyak kesalahan atau semacam respon dengan tindakan menariknya masuk kembali ke dunia kami. Dunia yang sudah ia pandang berbeda.
Di musim dingin, sekembali dari Indonesia, pada Februari dimana Polandia masih bersalju, kami mengunjungi dokter terapis untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi pada putri kami. Sempat terbesit bahwa ia tidak bicara karena mengalami kebingungan bahasa mengingat aku dan suami adalah orang tua dengan latar belakang bahasa yang berbeda.
Ruqyah sudah kami lakukan sewaktu di Indonesia. Saran dari ustad yang meruqyah justru meminta kami membawanya ke dokter khusus syaraf atau neurolog.
***
Butiran-butiran itu meleleh di tangan mungilnya. Putih, bersih, dan menakjubkan manakala ia menengadahkan pandangannya ke langit dan merasai hawa dingin yang menutupi langit Polandia di musim itu. Kami, orang tuanya menatap dengan penuh tanya; “Apa yang ada dalam pikirannya saat itu?”
Beberapa menit beranjak ia tersenyum dan kemudian meletakkan indra perasanya pada butiran salju yang meleleh menjadi air di telapak tangannya. Tawa riang itu pecah. Terdengar nyaring melengking. Ia berlari-lari di pusara salju di istana yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal kami dan kemudian memelukku. Ia tersenyum lagi.
Dalam pandangan orang lain, apa yang ia lakukan tak ada yang istimewa. Tapi tidak bagi kami. Ketika mendekat, maka hati akan tersadar bahwa ia memiliki cinta yang luar biasa. Cinta yang tak mengenal musim. Cinta yang tidak ditunjukkan dengan kata-kata melainkan pelukan. Ia terkadang menunjukkan hal-hal unik pada banyak hal.
Kami mulai paham bahwa ketika ia merasa senang, ia sangat sering memeluk kami. Pelukannya berarti ucapan terimah kasih. Tindakan kecil ini mengajarkan banyak hal. Pelukannya bisa berarti kepercayaan.
Ia menunjukkan cinta dengan cara yang unik. Pelukannya melahirkan makna bahwa ia membalas kasih sayang kami, ia ingin kami tahu bahwa ia telah menerima kami sebagai orang tua. Ada banyak hal yang tidak kami ketahui dari dunia biru (autis) dimana ia tinggal.
Pelukan ini bukan serta merta muncul. Ini adalah hasil perjuangan selama bertahun-tahun untuk memahami dunianya bukan memaksanya memahami dunia kami, dunia orang-orang biasa.
Pelukannya adalah tanda bahwa kami telah sama-sama berdamai untuk saling menerima ketentuan Allah yang telah digariskan kepadanya dan kepada kami sebagai orang tua.
Kami yakin modal terbesar menanamkan kebaikan padanya adalah membalas pelukannya. Dan kebaikan itu ia tularkan kepada anak-anak lain dengan cara memeluk mereka.
Orang-orang di luar mengira ia membuat kami melalui hari yang sukar. Tidak sama sekali! Putri kami justru setiap hari mengalami hari yang berat. Bisa Anda bayangkan! Anda berada di dunia asing yang tidak Anda pahami. Rasa kehausan datang namun tak ada kata yang bisa Anda ucapkan ditambah suara bising di sekeliling yang tidak bisa Anda tegur. Anda hanya diam mematung, bukan? Itulah yang ada dalam benaknya. Itulah dunia putri kami.
Belum lagi bentakan-bentakan dari orang-orang yang berhati keras yang ingin agar ia memahami mereka. Tidak! Mereka yang harus memahaminya. Memahami dan membuka hati untuk anak-anak seperti putri kami. Anda dan mereka yang harus membalas pelukan ini agar ia dan yang lainnya mengerti bahwa penerimaan itu ada.
Pelukan bisa berarti penerimaan. Ia menerima kami dengan segala kekurangan yang ada dan ini saatnya kami membalas pelukan ini dengan belajar memahami dunianya. Kami sadar, paham dan hormat terhadap perjalanannya di dunia autis. []
Polandia, 01 Juli 2017
Menulis adalah menggali pemahaman atas hikmah perjalanan yang terserak.