DALAM Islam, salah satu unsur terpenting ketika melakukan jima (hubungan suami istri) adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Karena dianggap sangat penting inilah, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam.
Beliau bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. At-Tirmidzi).
Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
BACA JUGA: Berdo’a sebelum Jima’, Ini 5 Keberkahannya
Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu,” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.
Syaikh Nashirudin Al-Albany, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,
“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah , ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
BACA JUGA: Inilah Pengertian Jima Berkualitas
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.” []
SUMBER: RUANG MUSLIMAH