TEL AVIV – Israel ikut dikritik karena diketahui terus mengekspor senjatanya Myanmar di saat junta militer negara itu membantai kelompok minoritas Muslim Rohingya di Rakhine.
Meski belum ada kepastian senjata Israel digunakan dalam kekerasan di Rakhine, tapi parlemen Tel Aviv melawan untuk menghentikan ekspor senjata tersebut.
Militer Myanmar menggelar operasi yang menewaskan ratusan orang, termasuk warga sipil Rohingya. Data resmi yang diakui militer dan pemerintah Myanmar menyatakan, ada 399 orang yang tewas dalam seminggu ini.
Data dari para aktivis di Rakhine menyebutkan, sekitar 130 orang, termasuk wanita dan anak-anak Rohingya dibunuh dalam operasi militer. Pembantaian massal dilaporkan terjadi di Desa Chut Pyin, dekat Kota Rathedaung, Myanmar barat.
Pelapor khusus PBB masih menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di Rakhine, termasuk asal-usul senjata junta militer yang digunakan untuk menindas kelompok minoritas Rohingya. Tapi, para periset Universitas Harvard mengatakan bahwa kejahatan terus berlanjut karena pemerintah Israel tetap menyediakan senjata ke rezim Myanmar.
Salah satu petinggi junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing, diketahui mengunjungi Israel pada bulan September 2015 dalam sebuah ”perjalanan belanja” dari produsen militer Israel. Delegasinya bertemu dengan Presiden Reuven Rivlin serta pejabat militer termasuk kepala staf tentara Israel. Dia mengunjungi pangkalan militer dan kontraktor pertahanan Elbit Systems dan Elta Systems.
Kepala Direktorat Kerja Sama Pertahanan Internasional Kementerian Pertahanan Israel—yang lebih dikenal dengan akronim berbahasa Ibrani SIBAT—Michel Ben-Baruch juga berkunjung ke Myanmar pada musim panas 2015.
Dalam kunjungan yang nyaris tak terendus media itu, pihak junta militer Myanmar mengaku membeli kapal patroli Super Dvora dari Israel dan ada pembicaraan tentang pembelian senjata tambahan.
sebuah perusahaan Israel yang mengkhususkan diri dalam memberikan pelatihan dan peralatan militer, menunjukkan pelatihan dengan senapan Corner Shot buatan Israel. Bersamaan dengan itu, muncul pernyataan bahwa Myanmar telah mulai menggunakan senjata tersebut untuk operasional.[]
Sumber:haaretz