BERBICARA mengenai masalah keuangan, seringkali banyak terjadi pertentangan. Terutama dalam sebuah keluarga. Materi seringkali menimbulkan masalah. Walau ternyata, masalah itu tidak begitu sulit untuk diselesaikan. Ya, tidak akan sulit jika kita berpegang teguh pada syariat Islam.
Termasuk dalam hal ini ialah dalam mengatur pembelanjaan. Selalu ada perdebatan dalam persoalan belanja. Padahal, membelanjakan materi sudah menjadi keharusan dan tidak bisa dilepaskan. Hanya saja, yang membuat terjadi perselisihan itu adalah dalam hal takaran dan untuk apa digunakan. Maka, perlu kita ketahui seperti apa cara mengatur pembelanjaan keluarga.
BACA JUGA: Jalan Rezeki Utama Ibadah Hidup, Ekonomi Hidup
Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan keluarga muslim, di antaranya secara garis besar adalah:
1. Komitmen Pembelanjaan dan Pemenuhan Kebutuhan Dana adalah Kewajiban Suami
Suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan,” (QS. At-Thalaq [65]: 7)
Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah,” (HR. Thabrani). Hadis ini mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan dana atau pembelanjaan untuk anggota keluarga itu akan berubah dari bentuk pengeluaran yang bersifat material (nafkah) menjadi pengeluaran yang bersifat spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari Allah.
Rasul ﷺ bersabda dalam Haji Wada’, “Ayomilah kaum wanita (para istri) karena Allah, sebab mereka adalah mitra penolong bagimu. Kamu telah memperistri mereka dengan amanah Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat Allah. Kamu berhak melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu. Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.”
Menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban suami terhadap istrinya, Rasulullah ﷺ bersabda, “Dia memberinya makan ketika dia makan dan memberinya pakaian ketika ia berpakaian, serta janganlah dia meninggalkannya kecuali sekadar pisah ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya.”
Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi Rasulullah ﷺ dan bercerita bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “Ia tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu, aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul bersabda, “Ambillah dari hartanya dengan ma’ruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah ﷺ bahwa dia mempunyai uang satu dinar. Rasulullah bersabda, “Bersedekahlah dengannya untuk dirimu.” Kemudian sahabat itu bertanya, “Bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain” Rasul menjawab, “Bersedekahlah dengannya untuk istrimu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Dan bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?” Rasul menjawab, “Bersedekahlah dengannya untuk pelayanmu,” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
2. Kewajiban Menafkahi Orangtua yang Membutuhkan
Di antara kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orangtuanya yang sudah lanjut usia (jompo) sebagai salah satu bentuk berbuat baik kepada orangtua. Seperti diisyaratkan Al-Quran, “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya,” (QS. Al-Isra:23).
Rasul bersabda, “Kedua orangtua itu boleh makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan anak tidak boleh memakan harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka,” (HR. Dailami).
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak melaksanakan kewajibannya, berarti ia durhaka terhadap orangtuanya dan berarti telah memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami dan istri harus percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orangtua adalah suatu kewajiban. Seperti halnya membayar utang kedua orangtua yang bersifat mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya kebajikan.
3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami
Jika seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya karena fakir, istri boleh membantu suaminya dengan cara bekerja atau berdagang. Hal itu merupakan salah satu bentuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa (saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) yang dianjurkan Islam. Selain itu, istri pun boleh memberikan zakat hartanya kepada suaminya yang fakir atau memberi pinjaman kepada suami apabila suami tidak termasuk fakir yang berhak menerima zakat.
4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga
Telah dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang halal dan istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat Islam. Yaitu dalam rangka memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta.
Sabda Rasulullah ﷺ, “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya,” (HR. Bukhari). “Bila seorang istri menyedekahkan makanan rumah tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga, maka dia mendapat pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil usahanya, demikian pula pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun,” (HR. Tahbrani).
5. Istri Berkewajiban untuk Hemat dan Ekonomis
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat,” (HR. Ahmad). Selain itu, ia harus realistis menerima apa yang dimilikinya (qana’ah). Rasul ﷺ bersabda, “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki cukup dan menerima apa yang Allah berikan kepadanya,” (HR. Muttafaq ‘Alaih). []
BERSAMBUNG
Sumber: Prof Muhammad, Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Yogyakarta, yang kami kutip di pengusahamuslim.com