PEMBUKAAN khutbah atau risalah tidak harus memakai lafaz: “Innalhamda lillah nahmaduhu wa nasta’inuhu… – sampai – …kullu bidatin dhalalah wa kullu dhalatin finnar” (selanjutnya diringkas dengan “innalhamda lillah…”, tapi boleh dengan redaksi yang lain yang telah memenuhi unsur tahmid (pujian kepada Allah) serta shalawat kepada Nabi ﷺ.
Tidak ada satupun dalil yang mengharuskan dan membatasi hanya dengan lafaz tersebut di atas. Yang bisa kita katakan, bahwa redaksi di atas merupakan salah satu redaksi yang bisa diamalkan, tapi bukan satu-satunya.
Belum lagi pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa redaksi di atas khusus untuk khutbah nikah saja. Kita dianjurkan untuk membuka suatu majelis atau risalah dengan tahmid (pujian) kepada Allah serta shalawat kepada Nabi. Ini poinnya.
BACA JUGA: Khutbah Jumat: Yang Terputus dari Pencela Nabi
Maka dengan redaksi yang mana saja, bahkan disusun sendiri sekalipun, asal dua hal ini (tahmid dan shalawat) telah tersebutkan, maka tujuannya telah tercapai. Walaupun mungkin redaksi yang dipakai tidak pernah dilafazkan oleh Nabi secara persis, akan tetapi telah tercangkup oleh dalil yang bersifat umum yang menganjuran hal ini.
Kalau kita amati dari berbagai riwayat yang ada, Nabi sendiri tidak melazimkan diri (menggunakan secara terus menerus) membuka khutbah ataupun risalah dengan redaksi ini “Innalhamda lillah….”
Sebagai contoh, surat yang beliau kirim kepada raja Romawi. Di situ, beliau hanya membuka dengan kalimat “Basmalah”. Demikian juga dengan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para ulama dari kurun setelahnya.
Mereka semua tidak melazimkan menggunakan lafaz “innalhamda lillah…”. Mereka menggunakan redaksi yang berbeda-beda menyesuaikan maksud dari apa yang akan mereka sampaikan di dalam khutbah atau risalah. (Simak Fathul Bari).
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) – rahimahullah – menyatakan:
أَنَّ الْخُطْبَةَ لَا يَتَحَتَّمُ فِيهَا سِيَاقٌ وَاحِدٌ يَمْتَنِعُ الْعُدُولُ عَنْهُ بَلِ الْغَرَضُ مِنْهَا الِافْتِتَاحُ بِمَا يَدُلُّ عَلَى الْمَقْصُودِ
“Sesungguhnya khutbah, di dalamnya tidak harus menggunakan satu redaksi yang terlarang untuk keluar darinya. Bahkan tujuan darinya, adalah pembukaan dengan (redaksi) yang menunjukkan kepada maksud yang diinginkan.” (Fathul Bari, vol.I/hlm. 8)
Jika ingin bukti yang lebih, silahkan dibuka kitab-kitab turats (warisan) para ulama kita dari masa ke masa. Contoh paling dekat kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Kedua kitab ini tidak menggunakan pembukaan dengan redaksi “innalhamda lillah…”
Padahal keduanya, yaitu imam Al-Bukhari (w.256 H) dan Muslim (w.261 H), termasuk ulama Salaf karena hidup di abad ke tiga.
Bahkan menurut pengamatan kami, amat sangat jarang atau hampir-hampir tidak didapatkan dari para ulama pendahulu kita yang melazimkan diri menggunakan redaksi “innalhamda lillah…” secara komplit dan persis sebagaimana yang digunakan dan diklaim oleh sebagian pihak saat ini sebagai redaksi pembukaan khutbah yang paling sesuai dengan sunah.
BACA JUGA: Khutbah Jumat: Makhluk Penebar Permusuhan
Sehingga pemahaman sebagian pihak (oknum) bahwa lafaz pembukaan “innalhamdalillah…” merupakan “brand” dan tolok ukur akan kelurusan dan kekokohan manhaj seseorang, merupakan hal yang tidak tepat. Lebih keliru lagi ketika sampai pada taraf membidahkan seluruh redaksi selain redaksi “Innalhamda lillah…”
Dan jika pemahaman ini diterapkan secara konsisten, akan ada banyak ulama (ratusan bahkan ribuan) dari masa ke masa yang harus dikeluarkan dari manhaj Salaf, atau minimal dianggap “tidak nyunah”, atau “kurang kokoh”. selain tahmid dan shalawat dalam khutbah Jumat menurut mazhab Syafi’i karena keduanya hukumnya wajib/rukun.
Syekh Al-Albani -rahimahullah – dalam kitab Al-Ajwibah An-Nafi’ah, hlm. (123) mengelompokkan berpalingnya para khatib dari khutbah hajah dengan redaksi “innalhamda lillah…”, termasuk bidah Shalat Jumat. Dengan tetap menghormati beliau sebagai ahli ilmu, kami pribadi tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Wallahul musta’an. Wallahu a’lam bish shawab. []
Oleh: Abdullah Al-Jirani