Oleh: Muhammad Iqbal Muttaqin
Mahasiswa STEI SEBI Depok
iqbalmuttaqin849@gmail.com
DI zaman seperti sekarang ini, konsep menjadi kaya itu bukan siapa yang bisa memupuk harta lebih banyak lalu dia kaya. Namun siapa yang bisa memberi atau bersedekah lebih banyak, dialah orang kaya yang sebenarnya. Karena dengan kita memberi, Allah SWT akan ganti berkali-kali lipat dengan harta yang lebih banyak.
Allah SWT akan memberi hati kita ketenangan dan kebahagian saat memberi. Ada beberapa tahapan untuk memberi, sebelum kita memberi ke orang yang lebih jauh, kita perhatikan terlebih dahulu orang terdekat kita, apakah mereka sedang terlilit utang, atau sedang dalam kondisi keuangan yang sulit, baik dia adalah saudara kandung kita atau saudara sepersepun, atau mungkin kedua orang tua kita yang sebenarnya sangat membutuhkan harta itu, maka mereka lah yang berhak menerima harta kita terlebih dahulu.
BACA JUGA: Kalimat Tauhid, Kunci Kebahagiaan
Ketika kebutuhan mereka semua telah terpenuhi, barulah kita memberi kepada orang yang tidak kita kenal, baik itu fakir, miskin, dhuafa dan lain sebagainya. Jadikanlah sedekah sebagai rutinitas harian Anda Tidak masalah seberapa besar atau kecilnya anda bersedekah, tapi sedekah itu rutin dilakukan setiap hari, entah ke masjid, ke fakir miskin, atau bahkan ke tetangga sebelah. Jika kita telah berhasil melakukannya maka bersedekah akan menjadi kebutuhan kita.
Jika sehari saja kita tidak bersedekah maka akan ada rasa yang kurang. Banyak orang yang bertanya-tanya “Padahal saya sudah bersedekah, tapi kenapa saya belum kaya juga? Bersedekah itu bukan untuk menjadikan kita kaya, tapi lebih dari itu kita akan memiliki kekayaan hati yang mulia. Yang selalu bersyukur dengan cara berbagi walau dalam keadaan sulit.
Jika kita merasa lelah dengan semua aktivitas kita, kita tidak mampu lagi menahan beban kehidupan yang membuat kita stres, maka shalatlah, karena sejatinya shalat itu adalah waktu untuk kita beristirahat dari hiruk pikuk kehidupan dunia. Dengan shalat, hati kita merasa tenang dan tentram.
Namun jika dalam shalat hati kita masih merasa gelisah, dan masih terus memikirkan dunia, berarti ada yang salah dalam shalat kita. Karena pada hakikatnya shalat itu adalah hubungan kita dengan Allah SWT yakni untuk kehidupan yang abadi, sedangkan urusan dunia adalah urusan kita dengan makhluk Allah yang bersifat sementara. Bagaimana mungkin sesuatu yang abadi digabungkan dengan sesuatu yang fana atau bersifat sementara, maka sampai kapanpun hati kita tidak akan pernah mendapat ketenangan.
Sebenarnya apa yang selama ini kita cari? Kenapa kita sampai rela berebut saling sikut satu sama lain untuk mendapat sesuap nasi? Apakah yang kita cari kebahagiaan? Apakah kita mencari harta? Dan lebih jauh lagi apakah yang kita cari itu surga? Dari semua pertanyaan itu jawabannya ada di dekat kita, yakni “Keluarga” karena harta yang paling berharga adalah keluarga kita, maka jagalah mereka.
Surga yang paling dekat adalah orang tua kita, yakni surga dibawah telapak kaki ibu, maka berbaktilah. Kebahagiaan yang tak ternilai harganya adalah masih bisa berkumpul dengan keluarga kita, maka manfaatkanlah setiap momen berharga bersama kedua orang tua kita, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kita sewaktu kecil. Hormatilah dan patuhilah pinta mereka, karena ridho nya Allah terletak pada ridho nya kedua orang tua kita.
Pernahkah kita merasakan bahwa hidup itu terlalu sulit untuk kita jalani, bahkan sampai terbersit bahwa lebih baik mati saja daripada harus terus menanggung beban yang berat ini? Padahal Allah SWT telah berjanji dalam firman-Nya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah 2: 286).
BACA JUGA: Nasihat Kebahagiaan Ibnu al-Jauzy
Bahwa setiap makhluk yang ada di muka Bumi semuanya sudah diatur ketetapannya oleh Allah SWT, bahkan daun yang jatuh saja sudah menjadi kehendak Allah. Lantas apalagi yang perlu kita khawatirkan? Kita punya Allah yang Maha Kuasa atas segala hal, kenapa kita harus takut akan sesuatu yang kecil. Jika kita dihadapkan dengan suatu masalah yang besar, maka katakanlah pada masalah itu bahwa saya memiliki Allah yang Maha Besar.
Kita bisa belajar dari secangkir kopi, di mana jika kita tidak pernah merasakan pahitnya sebuah kopi, maka kita tidak akan tau dengan yang rasanya manis. Begitupun kehidupan, untuk mendapatkan kehidupan yang manis, kita harus terlebih dulu menelan pahitnya kehidupan, entah dalam bentuk cobaan maupun ujian yang terus menerus menghampiri kita tapi percayalah bahwa kepahitan itu akan hilang dan Allah gantikan dengan kehidupan yang lebih baik. Aamiin Allahumma Aamiin. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.