Oleh: Rohmat Saputra
Penulis, Anggota Kelas Menulis Islampos
Ada seorang pemudi hafidz qur’an (30 juz) mengajar di salah satu Pesantren Tahfidz di Jawa Tengah. Selain mengajar, ia dikenal kuat dalam muroja’ah/mengulang hafalan. Sebab baginya hafalan Qur’an harus terus dijaga. Ayat Qur’an tidak seperti bacaan lainnya yang bisa saja awet di ingat. Jika hafalan Qur’an tidak di ulang maka lambat laun akan lupa.
Ia diuji oleh Allah dengan mengidap kanker otak. Saat kambuh ia sulit beraktifitas. Hanya terbaring lemas diatas ranjang dan menahan rasa sakit yang tak terkira. Apalagi ketiadaan kedua orang tua yang telah lama meninggal, makin perih perasaannya saat itu.
Pernah ada seorang ikhwan sholeh (Insya Allah) datang untuk mengkhitbah meski sudah tahu bahwa akhwat itu mengidap penyakit yang tidak ringan. Tapi Ikhwan tesebut menerima apa adanya karena dalam segi agama dan kemampuan, ia masuk pada kriteria si ikhwan.
Selanjutnya ikhwan itu memohon restu kepada orang tua untuk melamar akhwat tersebut. Namun ditolak disebabkan sakit yang diderita. Si ikhwan ingin tetap melanjutkan proses itu meski orang tua tidak menerima. Tapi setelah di pikir kembali, penolakan itu tak bermaksud buruk kepadanya. Sikap orang tuanya bisa saja sebagai bentuk kekhawatiran karena begitu peduli terhadap masa depan anaknya.
Orang tua siapa yang tidak berat jika mendengar bahwa calon mantunya ternyata mengidap penyakit kanker otak? Pasti akan dipertimbangkan matang-matang menerima kabar seperti itu. Kemudian dengan baik-baik akhirnya si ikhwan mundur.
Selang beberapa waktu akhwat ini pergi ke Singapura untuk berobat. Selesai pengobatan, kambuh yang sering terjadi sudah menurun. Tidak sesering dulu. Ia kembali mengajar sebagaimana biasanya. Pada suatu hari atas takdir Allah terjadi kecelakaan. Ia terjatuh dari motor yang mengakibatkan luka parah pada bagian kepala.
Saat dibawa ke rumah sakit dalam keadaan setengah sadar, ia melantunkan ayat qur’an tanpa henti. Tentu ucapan tersebut keluar dari alam bawah sadar karena ia berada dalam kondisi yang kritis. Sangat mungkin kebiasaan menjaga hafalan dengan mengulangnya membuat mulutnya reflek mengucapkan kalimat mulia itu.
Ketika sadar sepenuhnya, beberapa keluarga angkat dan teman sudah berkumpul mengelilingi ranjang dimana ia berbaring. Ia lupa semua siapa menjenguknya saat itu. Ternyata ia mengalami gegar otak. Namun uniknya hafalan Qur’an masih dia ingat seperti sebelum kecelakaan.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, ia kembali ke pesantren sebagaimana aktifitas biasanya. Termasuk kembali tahajud dan muroja’ah hafalan di tengah malam.
Di penghujung malam setelah shalat tahajud, ia memuroja’ah hafalan-hafalannya. Asyik sibuk berduaan dengan al-Quran dan menikmati setiap ayat ditengah terlelapnya manusia. Namun ia tak mengira, jika malam itu adalah tahajud dan murojaah terakhir baginya. Mungkin Allah telah rindu ingin menemui hamba yang sholehah itu. Malaikat maut mendatanginya setelah mengulang-ulang kalam suci dari mulutnya.
Ia menghembuskan nafas terakhir pada saat itu juga. Maka selesai sudah kehidupannya di dunia. Allah istirahatkan dari penatnya cobaan yang terus mendera. Cukuplah aktifitas baik di penghujung malamnya itu menjadi persiapan dalam menyambut kematian dengan cara yang baik.
Semoga kisah nyata ini menjadi renungan akan pentingnya membangun istiqomah dalam kebaikan. Perhatikanlah kehidupannya. Meski ia seakan hidup sendiri karena berstatus anak semata wayang dan telah ditinggal kedua orang tua, ditambah pula mengidap dua penyakit berat, tapi ia memiliki teman sekaligus tempat curhat yang tak pernah berkhianat. Apa itu? Hafalan qur’an 30 juz yang selalu di ulang dan tahajud yang senantiasa ditegakkan.
Disaat pemudi hari ini banyak yang curhat ke sosial media, terlebih curhat ke orang yang bukan muhrim, tapi akhwat tersebut lebih memilih ibadah sebagai tempat membuang semua kegundahan. Tidak ada tempat bersandar paling aman melainkan hanya kepada-Nya.
Dan keistiqomahan itulah yang tanpa sadar menyampaikannya pada kematian yang sangat didamba orang-orang sholeh, yaitu husnul khatimah. []
Sumber: Kisahnya sebagaimana dituturkan oleh kerabat dekatnya