ABDI Manaf duduk seorang diri di rumahnya. Raut mukanya yang tampan terlihat sendu. Dia memang seorang pria yang tampan dan berwajah menarik sehingga orang mengatakan dia bagaikan bulan.
Saat itu, bila mendengar suatu gerakan, dia mengangkat kepalanya, dan memperhatikannya. Rupanya, dia sedang menanti istrinya yang hendak melahirkan. Dia sangat mengharapkan agar yang akan lahir nanti adalah lelaki untuk menjadi saudara Muthalib.
BACA JUGA: Penantian Kelahiran Rasulullah, Berakhir Penolakan
Pemuda Abdi Manaf adalah putra pemimpin Quraisy, Qushai. Kala itu, tiada seorang Quraisy pun—lelaki atau wanita—yang menikah, kecuali di rumah Qushai. Tiada orang membicarakan suatu persoalan yang menimpa mereka, kecuali di rumah Qushai, dan tidak pernah dilakukan penyerahan bendera perang, kecuali di rumah Qushai pula.
Qushai selalu memberi makan orang-orang fakir dan menjamu orang-orang haji. Sebagai anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga mulia, sejak kecil Abdi Manaf telah dididik berjiwa mulia.
Akan tetapi, dia juga hidup dalam lingkungan masyarakat yang tidak menyenangi kelahiran bayi perempuan sehingga ada yang menguburnya hidup-hidup karena takut membawa aib di kemudian hari. Abdi Manaf pun khawatir dan takut kalau istrinya melahirkan bayi perempuan.
Dia menanti detik-detik itu dengan berdebar sampai datang seseorang menyam-paikan berita gembira.
“Istrimu telah melahirkan laki-laki kembar dua!” kata orang itu.
BACA JUGA: Masya Allah, Inilah Hikmah Makan Bersama Satu Piring yang Diajarkan Rasulullah
Abdi Manaf sangat gembira dan meminta untuk segera melihatnya. Setelah memerhatikan kedua bayi kembarnya, dia melihat ada keganjilan.
Ternyata, kedua bayi kembarnya itu gandeng (dempet). Jari yang satu melekat pada dahi yang lain. Dia segera mendatangkan orang untuk memisahkan keduanya. Setelah jari terlepas dari dahi, darah mengalir dari dahi dan jari bayi tersebut. Abdi Manaf tertegun. Waktu itu, orang Arab biasa meramalkan sesuatu.
Ketika melihat darah mengalir, salah seorang di antara mereka berkata, “Kelak akan terjadi pertumpahan darah antara keduanya.” []
Sumber: Mukjizat Cinta Rasul: Kisah Mulia Perjuangan Muhammad Saw/Karya: Abdul Hamid As-Sahhar/Penerbit: Mizan