Oleh : Patrianur Patria
KASIH, lihatlah, betapa cantik dan anggunnya aku dengan kebaya putih ini. Kau bilang, perempuanmu ini selalu menawan dengan nuansa putih. Karena itu, kamar pengantin pun kupilih yang bernuansa putih. Setiap kutarik napas, aroma melati *merunjam penciuman. Seiring tergesa ingatanku melayang padamu.
Ingatkah kau awal pertemuan kita? Ketika itu, aku sedang menginap di rumah seorang teman dan kau datang menemui kakak lelakinya. Aku tidak terlalu mempedulikanmu meskipun dari sudut mata kutahu kau tak pernah lepas memandang. Beberapa hari kemudian datang SMS darimu. Tidak lama kau pun mulai menelepon. Kadang kita bicara berjam-jam sampai baterai handphone salah satu dari kita lowbat.
Hubungan kita pun semakin istimewa. Lima tahun lamanya kita bersama, sampai suatu hari kau putuskan kembali ke kota kelahiran karena khawatir dengan ibumu yang telah menua dan tinggal sendiri.
Aku sempat meragu untuk meneruskan hubungan ini, tapi kau meyakinkan kalau cinta kita takkan tergoyahkan oleh jarak. Dan nyatanya, baru sebulan kau di sana, segala pesan dan telepon darimu perlahan menghilang. Sungguh, aku tak tahan lagi, Kasih. Akhirnya kuberanikan diri bertanya. Saat itu, lama, baru kau jawab, “ibu melarang aku untuk menikah dalam waktu dekat ini.”
“Kita kan memang tidak mungkin menikah dalam waktu dekat. ” Kala itu aku masih bisa berseloroh.
“Bagiku, restu orangtua diatas segalanya, Inka.” Kutelan ucapmu yang menyembilu.
“Kau tidak berusaha untuk hubungan kita?”
“Kalau jodoh pasti akan bersatu.”
“Tapi jodohmu harus kau usahakan sendiri.” Aku mulai meradang dalam tangis yang tertahan. Kudengar kau menghela napas di seberang sana.
“Kita istikharah saja, ya.” Pintamu akhirnya dengan suara yang *melindap.
Sejak itu, kulalui tiap malam dengan istikharah dan hajat. Meskipun menyerahkan semuanya pada Tuhan, tetap saja aku berharap, kaulah yang kelak menjadi sandinganku.
Dan istikharah membawaku ke ruangan ini, sekarang ….
Ibu membuka pintu kamar. Ia tertegun haru melihat putrinya menjadi pengantin. Perlahan langkahnya mendekat.
“Cantik sekali, Nduk. Sudah lama sekali, Ibu ingin melihatmu begini.” Perempuan berkebaya merah muda itu merapikan roncean melati di kerudungku. Ada yang membuncah di sudut mata. Kupeluk tubuh gemuk ibu. Airmata *lesap di balik bahunya.
“Aku tidak mau menikah, Bu ….” Kugigit bibir yang menggetar. Ibu *menepik punggungku.
“Mungkin ibu tidak bisa mencarikan lelaki idaman untukmu, tapi percayalah, Nduk, Ibu berusaha mencari yang terbaik untukmu.”
Entah kenapa, kali ini tidak kutemukan kedamaian di balik pelukan wanita yang telah melahirkanku. Kulepaskan pelukan dan kubelokkan pandangan. Enggan menatapnya.
“Hari ini, kamu boleh membenci Ibu, tapi suatu hari nanti, kamu akan tertawa bila mengingatnya. Tidak ada alasan menolak calon suamimu.”
Airmata *mencelus lagi dari tandan-nya.
Kasih, mengapa tak kutemukan kau di setiap istikharahku? []
Catatan Kaki
Merunjam : Menusuk
Melindap : Redup; samar; kurang jelas
Lesap : Hilang; lenyap
Menepik : Menepuk
Mencelus : lepas
Biodata Penulis:
Patrianur Patria, gadis periang dengan sejuta warna. Aktif menulis sejak tahun 2012. Beberapa cerpennya berhasil diabadikan melalui melalui beberapa buku antologi. Dapat dihubungi melalui fb dengan akun Patrianur Patria.