SAAT seseorang bertanya, “Apa hukum perkara ini menurut pendapat yang rajih (على القول الراجح)?”, maka dilihat:
1. Jika yang ia maksud, “Rajih menurut madzhab fiqih A”, maka ini jelas. Para ulama di masa lalu, sudah menjelaskan mana pendapat yang rajih menurut madzhab ini dan itu, saat terjadi khilaf antar berbagai pendapat di dalam madzhab tersebut.
Sebagai contoh, “Yang rajih dalam madzhab Syafi’i, menurut penelitian An-Nawawi terhadap berbagai qaul yang ada, hukum shalat jamaah itu fardhu kifayah.”
BACA JUGA: Pendapat yang Rajih Namun Tidak Difatwakan
2. Jika yang ia maksud, “Rajih menurut mufti yang ia tanya”, maka ini juga jelas. Sang mufti akan menjelaskan dan memfatwakan pendapat yang rajih (kuat) menurutnya.
Tapi yang jadi catatan, tidak setiap orang yang ditanya, itu layak menjawab apalagi memberikan fatwa. Ini musykilah zaman sekarang, lebih-lebih di Indonesia. Orang awam bertanya ke siapa saja yang ia kenal, tanpa mengecek apakah yang ditanya itu punya kapasitas fatwa atau tidak.
Ditambah sebagian ustadz atau pengajar agama, tidak menjelaskan kaidah fatwa dan istifta (meminta fatwa) ini dengan baik kepada jamaah atau pendengarnya. Akhirnya terjadilah faudha (kekacauan) dalam fatwa.
3. Jika yang ia maksud, “Rajih secara mutlak”, maka ini sesuatu yang salah kaprah. Persoalan tarjih (menguatkan satu pendapat), adalah persoalan ijtihadiyyah, yang derajat hasilnya selalu zhanni (dugaan kuat), tidak qath’i (pasti 100% benar).
BACA JUGA: Perbedaan Pendapat Ulama soal Maulid Nabi ﷺ
Pendapat yang Rajih
Jadi, kalau kita mencari yang rajih, kemungkinannya hanya:
(a) Rajih menurut madzhab A, atau Syaikh B, atau Ustadz C.
(b) Rajih menurut penelitian kita sendiri, jika kita mampu meneliti.
Tapi, mau itu (a) atau (b), derajatnya tetap zhanni. Sehingga dari sudut pandang seorang manusia, dalam perkara ijtihadiyyah, pendapat yang rajih itu sesuatu yang nisbi, tergantung siapa yang merajihkan.
Karena tidak bersifat mutlak, kita harus bersikap toleran terhadap perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadiyyah, selama pendapat itu pendapat yang mu’tabar (yang memiliki syarat dan ketentuannya), karena baik pendapat yang kita ikuti, maupun yang tidak kita ikuti, sama-sama berpeluang benar, di sisi Allah ta’ala. Wallahu a’lam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara