ENAM tahun silam, seorang junior di SMA mencak-mencak di facebook (baca: mencaci maki saya). Gara-garanya simpel: stori masa lampau. Ia menghina saya secara pribadi lewat sebuah foto pencak silat yang diunggah oleh temannya satu angkatan.
Saya tak menanggapinya, karena tak elok, dengan usia yang tak muda, pernah satu atap, dan dia pernah saya ajar satu waktu.
BACA JUGA:Â Jodoh
Beberapa alumni yang juga seperguruan pencak silat mendatangi saya 2 hari kemudian. “Kita sudah dapat alamt lengkapnya, kapan dia ada jalan, dan beberapa hal lainnya soal dia,” ujar salah satu di antaranya. “Akang tinggal bilang, kami langsung eksekusi agar dia belajar soal menghormati orang.”
Saya tersenyum. “Jangan, dia mungkin orang yang sulit move on, dendam pada masa lalu dengan tak beralasan.”
Saat itu, saya merasa menjadi pendekar seperti yang diajarkan oleh mendiang Pak Nendi, guru pencak silat saya di SMA dulu.
Tak lama, saya satu bus dengan dia dari Jakarta. Di Sadang, saya turun bareng dan saya datangi dia, dan saya tanya pada dia apa punya masalah dengan saya dan saya tawarkan mau bagaimana penyelesaiannya: apa perlu dengan cara laki-laki?
BACA JUGA:Â Yang Dilakukan di Hari LebaranÂ
Dia melengos. Kabur dengan ojek. Saya memperhatikan dia dan prihatin dengan hidupnya atau cara bertindak dalam hidupnya saat itu yang sangat reaktif dan cupat.
Saya mendoakan dia agar sehat senantiasa. Tak ada rasa benci pada dia, tapi jika dia masih ngeyel, tangan saya terbuka untuk segala macam penyelesaian.
Saat itu, saya merasa sudah menjadi pendekar 2 kali. []