Oleh: Rahman Hanifan
KHUTBAN-KHUTBAN di masjid selama ini banyak mubazirnya. Jumlah khutbah tidak paralel dengan peningkatan jumlah kelakukan baik manusia. Kutbah-khutbah itu tidak efektif secara moral, sosial, budaya, apalagi politik.
Khutbah-khutbah itu tidak relevan terhadap persoalan konkret umatnya. Tidak mengandung kepekaan, komitmen, dan kepedulian terhadap suara hati umatnya. Tidak mampu menyentuh dasar kenyataan hidup umatnya. Jadi ya begitu-begitu saja. Dan para jamaah itu ya nganut-nganut saja sampai berabad-abad.
Rangkaian kalimat di atas adalah kritik Emha Ainun Nadjib dalam salah satu bukunya; Markesot Bertutur Lagi. Ya, apa artinya khutbah-khutbah itu, kalau sebagian besar jamaahnya sama sekali tak mendengar, karena tidur.
BACA JUGA:Â Merokok, Buang-buang Uang Saja?
Yang mendengar pun hanya mendengar dengan telinga, tidak dengan hati mereka. Isi khutbah juga seringkali gak jelas, ke sana ke mari, seakan semua hal mau dikhutbahkan. Khutbah itu sama sekali tak efektif sebagaimana fungsinya, menggerakkan orang untuk bertakwa.
Senada dengan itu, masih dalam buku yang sama, Emha juga menyindir tentang tidak efektifnya institusi pendidikan di negeri ini. Seperti gelar kesarjanaan yang mubazir.
Emha melalui Markendut, salah satu tokoh dalam buku itu mengatakan; “Kesarjanaan hanya berarti tambahan sedikit tumpukan informasi pengetahuan di otaknya. Pengetahuan itu tidak mengimbas ke dalam hati, tidak mengendap menjadi pola kejiwaan, serta tidak merasuk ke dalam pembangunan mentalitasnya.”
Kita yang berprofesi sebagai guru, mestinya juga senantiasa evaluasi diri. Jangan-jangan selama ini kita hanya menjadi guru mubazir.
Guru yang tidak mampu merubah apa-apa terhadap anak-anak didiknya, kecuali menambah tumpukan infromasi pengetahuan pada otak mereka.
Apa yang kita sampaikan berhenti sebagai memori di otak dan mengendap disana. Tidak sampai ke dalam jiwa, apalagi merubahnya menjadi lebih baik.
Mubazir, karena tumpukan data itu takkan begitu berarti dibanding dengan kelelahan kita sebagai guru dalam menyiapkan silabus, Program Semester, Program Tahunan, RPP, dan sebagainya.
Juga tak sebanding dengan waktu yang kita habiskan setidaknya setengah hari setiap hari untuk berada di sekolah. Sementara karakter anak tidak menjadi lebih baik, kualitas mentalnya tak terbangun dan mereka tak siap untuk menghadapi realitas di sekolah.
Tentu saja hal ini mubazir, kecuali yang kita pikirkan hanyalah amplop beserta isinya yang akan kita terima setiap awal atau akhir bulan.
Ibarat komputer, kita hanya menyimpan file-file software di hardisk, tapi tidak menginstalnya. Maka file-file itu sama sekali tidak ada gunanya bagi komputer, selain menambah beban kerja baginya.
Bila file-file itu sudah terlalu menumpuk, kerja komputer akan menjadi lemot. Mungkin satu-satunya hal positif dari terlalu banyaknya data itu adalah melatih kesabaran para pengguna komputer.
Begitulah, para guru terus-menerus menumpuk data pada otak anak-anak didiknya. Akan tetapi data-data itu, meskipun merupakan software yang dapat dijalankan untuk kebaikan-kebaikan diri anak, tapi tidak terinstal pada jiwa mereka.
BACA JUGA:Â Biar Tak Mubazir, Ini 5 Tips Manfaatkan Hijab Tak Terpakai
Data-data itu menjadi mubazir. Teronggok saja di otak. Paling-paling berguna untuk menjawab soal-soal ujian, baik ujian kelulusan, ujian naik jenjang pendidikan berikutnya, atau ujian CPNS.
Akan tetapi sekali lagi, tidak merubah jiwa mereka. Anak-anak didik kita tak menjadi lebih peka, lebih arif, lebih bijak dan lebih shalih dalam menjalani hidup. Nah, apalah gunanya kita terus mengajar? Sedang Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada jiwa mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11).
Semoga saja, kita sanggup untuk terus belajar dan memperbaiki diri, agar tidak menjadi guru yang mubazir. Bila kita tak mampu merubah jiwa mereka, maka negeri ini juga takkan berubah. []