Oleh: Supadilah Iskandar
Peneliti dan pengamat sosial, mengajar sastra dan religiositas di pedalaman Banten Selatan
supadilahiskandar@gmail.com
PENELETIAN dan riset-riset ilmiah, khususnya di ruang laboratorium, biasanya dilakukan demi kelestarian dan kemaslahatan hidup manusia. Termasuk demi kelestarian hewan, tanaman, dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Pada prinsipnya, setiap riset dilakukan demi untuk kemaslahatan dan kehidupan yang lebih baik.
Sains mendasarkan percobaannya pada aspek-aspek humanistik. Meskipun memang ada, namun jarang ditemui riset ilmiah yang latar belakangnya tidak menyinggung tentang kualitas hidup yang lebih baik. Misalnya, Profesor Effendy dari Universitas Negeri Malang (UNMA), ia terbiasa mensintesis senyawa kimia anorganik kompleks. Kegemarannya melakukan sintesis membuahkan ratusan senyawa baru yang mencengangkan.
Di kemudian hari, ketika hasil sintesisnya ditelaah secara mendalam, maka akan semakin terungkap adanya keterhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tapi, jikapun hasil sintesisnya tidak dapat digunakan manusia, sifat fisika dan kimia dari molekul yang disintesis tetap menyumbang informasi baru yang memperkaya ilmu, dan ujung-ujungnya untuk kehidupan manusia yang lebih baik pula.
Riset dan penelitian itu, meniscayakan kesucian jiwa dan hati manusia. Sebagaimana lelaku shalat maupun puasa, segala kebaikan yang dilakukan di permukaan bumi, mengindikasikan bahwa hamparan bumi ini seluruhnya adalah tempat bersujud (syukur). Kesucian dan kejernihan hati, membuat seorang hamba tidak lagi “terhijab” untuk menembus cahaya Allah. Memahami pola alam yang bertebaran seraya menyadari pesan-pesan implisit yang Allah sampaikan dari hamparan alam semesta ini.
BACA JUGA: Gadis Cantik Sebagai Anugerah Tuhan
Pesan universal
Seringkali manusia melukai Ibu-Bumi dengan membuat kerusakan di atasnya seperti membuang emisi udara berlebihan, sampai membuat banyak orang sesak napas. Usaha menyembuhkan Ibu-Bumi dengan merealisasikan WFH nyatanya tidak berpengaruh signifikan. Karena yang bertanggungjawab untuk menyucikan bumi adalah kita semua. Kita wajib berbuat baik di atas permukaan bumi karena bumi sejatinya adalah hamparan tempat sujud (masjid). Terkait dengan ini, dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad menegaskan. “Bumi diciptakan untukku sebagai sarana untuk mensucikan, serta berfungsi sebagai tempat sujud.”
Secara implisit apa yang dinyatakan Nabi, bahwa setiap kebaikan yang dilakukan di permukaan bumi identik dengan perilaku “shalat ”. Menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan juga merupakan lelaku shalat . Sehaluan dengan pernyataan Mohamad Marzuki, seorang pelukis sufistik, bahwa shalat mengandung makna tentang hidup yang benar. Karena impact dari mendirikan shalat , membuat manusia agar tidak berperilaku fasik dan mungkar. Untuk itu, selayaknya kita menerbitkan banyak perilaku baik, seperti mencari ilmu, mengadakan riset dan penelitian, karena semuanya itu merupakan jihad manusia dalam melawan kebodohan dan kemungkaran.
Proses mencari ilmu dan kebenaran (hikmah) bisa didapatkan dari nalar rasional, berpikir logis, ataupun pengamatan empiris. Salah satu bentuk menggali kebenaran adalah mencari ilmu di ruang-ruang laboratorium. Hal ini, karena di laboratorium terdapat proses penginderaan empiris serta bernalar secara rasional. Bekerja di laboratorium sejatinya adalah bagian dari aktivitas shalat , yakni ibadah yang akan membuat kita mengenal Tuhan melalui jalur pngamatan tentang apa yang Dia ciptakan berupa alam semesta.
Jadi, kita tidak lagi membutuhkan debat kusir maupun argumentasi bertele-tele, khususnya tentang konsep integrasi antara nilai-nilai keislaman dengan aktivitas yang ada di laboratorium. Seakan-akan kerja saintifik itu tak ada kaitannya dengan nilai-nilai islami, bahkan ada yang berpendapat bahwa sains seakan bertentangan dengan agama, sehingga harus dicarikan jembatan penghubungnya.
Terlepas dari polemik dan debat kusir itu, saat ini kita semua menyaksikan betapa teknologi telah menguasai sendi-sendi kehidupan manusia di segala aspek. Perkembangan yang dirintis oleh Artificial Intelligence (AI), tampaknya membawa pengaruh yang makin dalam dan luas. Ia telah mengambil alih tugas-tugas yang biasanya hanya dilakukan oleh orang yang memiliki otoritas khusus, bahkan di bidang keagamaan sekalipun.
Peran agamawan
Di era milenial ini, agama adalah persoalan yang bisa masuk ke semua lini kehidupan. Hampir tidak ada ruang dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak bisa dimasuki oleh agama, sejak kelahiran hingga kematian.
Untuk itu, ruang lingkup kerja agamawan atau penyuluh agama sangat luas. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat terus tumbuh silih berganti. Masyarakat membutuhkan penjelasan dengan perspektif agama tentang persoalan-persolan yang berkembang. Mereka butuh pegangan untuk menyikapi dinamika yang terjadi. Penyuluh agama yang diwartakan dalam novel Perasaan Orang Banten (2012) untuk melayani kepentingan masyarakat kampung Jombang, kini sudah harus menguasai pengelolaan data melalui AI. Dengan kecerdasan dan kekayaan data yang disampaikan kiai dan ulama, mereka akan dapat memesona khalayak. Di samping teladan yang mumpuni, seorang tokoh agama perlu menghadirkan peran dan fungsi AI guna semakin memperkaya khazanah maupun petuah-petuah spiritual mereka.
Dengan kompetensi yang memadai, seorang tokoh agama dapat memiliki pemahaman dan penguasaan tentang agama dan problem yang dihadapi oleh masyarakatnya, sehingga dapat memberikan respons yang mencerahkan sesuai tuntutan zaman. Pengertian membaca (iqra’) bukan lagi semata-mata membaca kitab maupun teks-teks harfiah, tetapi juga mahir membaca situasi dan fenomena nyata yang tumbuh di sekeliling kita. Dengan itu, ia akan memiliki kekayaan perspektif, selalu up-date dan tidak kehilangan kesadaran atas realitas.
BACA JUGA: Siapa Jodoh Saya?
Kini, semua profesi dan keahlian sudah menghubungkan segalanya dengan agama. Persoalan agama nampaknya terlalu besar jika hanya diserahkan kepada ulama maupun tokoh agama semata. Keikutsertaan semua pihak adalah bentuk rasa memiliki, peduli dan tanggung jawab terhadap nilai-nilai agama yang membawa perbaikan dan kemaslahatan bersama.
Untuk itu, di tengah kontestasi, persaingan wacana, dan padatnya lalu lintas informasi, kehadiran ulama maupun tokoh agama menjadi sangat penting. Ia akan menjadi suluh yang memberikan panduan bagi masyarakat. Ia akan menjadi penggerak bagi pengembangan literasi, sehingga mereka menjadi umat dengan kualitas pemahaman keagamaan yang baik.
Dengan demikian, seorang ulama dan penyuluh agama sebenarnya sedang berkontribusi dalam upaya mencerdaskan dan mendewasakan bangsa ini. Tentu saja dibutuhkan modal dan kapasitas yang harus selalu ditingkatkan. Sebab jika tidak, kehadirannya hanya akan menjadi beban sejarah, serta dianggap sebelah mata di tengah perkembangan masyarakat yang semakin kaya akan wawasan spiritual dan keilmuwan. []