Kopi
1,6 Milyar cangkir kopi dikonsumsi setiap hari di seluruh dunia. Miliaran orang mengkonsumsi minuman tersebut dalam rutinitas sehari-hari mereka. Namun, sangat sedikit orang yang menyadari asal-usul minuman ini sebelumnya.
Menurut catatan sejarah, di tahun 1400-an kopi menjadi minuman yang sangat populer di kalangan umat Islam di Yaman, di Semenanjung Arab selatan. Sebuah legenda mengatakan bahwa seorang gembala (beberapa mengatakan di Yaman, beberapa mengatakan di Ethiopia) memperhatikan bahwa kambing mereka menjadi sangat energik dan gelisah setelah memakan biji dari pohon tertentu.
Gembala itu kemudian memberanikan diri untuk mencoba memakan biji tersebut sendiri, selepasnya ia merasa ada tambahan energi ekstra. Seiring waktu, tradisi memanggang biji hitam itu populer.  Biji itu dibenamkan ke dalam air untuk menghasilkan minuman yang kemudian terkenallah kopi.
https://www.youtube.com/watch?v=UJsq4CY7PlU
Berdasarkan literatur lainnya, kopi berasal dari dataran tinggi Yaman yang menyebar hingga ke seluruh wilayah Kekaisaran Ottoman, kerajaan Muslim terkemuka abad ke-15. Kedai yang mengkhususkan menjual minuman–utamanya hasil olahan kopi–baru mulai bermunculan di seluruh kota-kota besar peradaban Muslim semisal: Cairo, Istanbul, Damaskus, Baghdad. Dari dunia Muslim, minuman itu kemudian menyebar ke Eropa melalui pedagang di kota besar seperti Venesia.
Meskipun pada awalnya otoritas katolik mengecam sebagai “minuman Muslim”, kopi kemudian menjadi bagian dari budaya Eropa. Kedai-kedai kopi dari tahun 1600-an menjadi tempat di mana para filsuf bertemu dan membahas isu-isu seperti hak-hak manusia, peran pemerintah, dan demokrasi. Diskusi sambil meminum kopi melahirkan apa yang menjadi pencerahan, salah satu gerakan intelektual yang paling kuat dari dunia modern.
Dari Yaman dan atau gembala Ethiopia, minuman itu kemudian terbawa dalam arus pemikiran politik Eropa hingga kini lebih dari 1 milyar cangkir kopi dikonsumsi setiap harinya. Inovasi Muslim ini adalah salah satu penemuan paling penting dari sejarah manusia.
Aljabar
Sementara banyak siswa sekolah menengah berjuang lulus di kelas matematika, meski tidak terlalu menghargai pentingnya aljabar. Mereka tidak menyadari aljabar adalah salah satu kontribusi paling penting dari masa ‘Golden Age Islam’ untuk dunia modern.
Aljabar dikembangkan oleh ilmuwan besar dan matematikawan, Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, yang tinggal 780-850 di Persia dan Irak.
Dalam buku monumentalnya, Al-Kitab al-Mukhtasar fi hisab al-jabr wa-l-muqabala (English: The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing), al-Khawarizmi membentuk prinsip-prinsip dasar persamaan aljabar. Nama buku itu sendiri mengandung kata “al-jabr”, yang berarti “selesai”, asal muasal kata latin aljabar sebelumnya.
Dalam buku itu, al-Khawarizmi menjelaskan bagaimana menggunakan persamaan aljabar dengan variabel yang tidak diketahui untuk memecahkan masalah dunia nyata seperti perhitungan zakat dan pembagian warisan. Aspek unik dari alasannya untuk mengembangkan aljabar adalah keinginan untuk membuat perhitungan yang diamanatkan oleh hukum Islam agar lebih mudah untuk menyelesaikan persoalan di dunia tanpa kalkulator dan komputer.
Buku al-Khawarizimi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Eropa pada 1000-an dan 1100-an, di mana ia dikenal sebagai Algoritmi (kata algoritma berdasarkan nama dan karya matematika). Tanpa karyanya dalam mengembangkan aljabar, aplikasi praktis modern matematika, seperti teknik, tidak akan mungkin terealisasi. Karya-karya al-Khawarizmi kemudian digunakan sebagai buku pelajaran matematika di universitas-universitas Eropa selama ratusan tahun setelah kematiannya.
Universitas
Berbicara tentang perguruan tinggi, ini juga merupakan penemuan penting yang dihasilkan oleh dunia Islam. Di awal sejarah Islam, masjid sangatlah multifungsi manfaatnya–salah satunya sebagai sekolah.
Imam Masjid akan mengajar kelompok siswa tentang ilmu-ilmu Islam seperti Quran, fiqh (yurisprudensi), dan hadits. Ketika dunia Muslim bertumbuh, para imam merasa membutuhkan lembaga formal, yang kemudian dikenal sebagai madrasah, yang didedikasikan khusus untuk pendidikan siswa.
Madrasah resmi pertama adalah al-Karaouine, didirikan pada 859 oleh Fatima al-Fihri di Fes, Maroko. Sekolah itu menarik beberapa ulama terkemuka Afrika Utara, serta siswa-siswa terbaik di negara tersebut.
Di al-Karaouine, siswa diajarkan oleh para guru selama beberapa tahun dengan dibekali berbagai mata pelajaran mulai ilmu populer hingga ke ilmu-ilmu agama. Pada akhir pembelajaran, jika guru menganggap siswa mereka memenuhi syarat, mereka akan memberikan sertifikat yang kemudian dewasa ini dikenal sebagai ijazah, dimana isinya mengakui bahwa siswa tersebut memahami materi dan memenuhi syarat untuk mengajarkan kembali ilmu yang telah diperolehnya itu.
Pemberian gelar dari lembaga pendidikan kepada siswa ini, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia Islam. Universitas Al-Azhar yang didirikan di Kairo pada 970, dan di 1000, kemudian berkembang dan mendirikan puluhan madrasah di seluruh Timur Tengah.
Konsep lembaga yang memberikan sertifikat akhir (ijazah) menyebar ke Eropa melalui Muslim di Spanyol, di mana para siswa di Eropa rata-rata menutut ilmu di sana. Universitas Bologna di Italia dan Oxford di Inggris yang didirikan pada abad ke-11 dan 12 dan meneruskan tradisi Muslim tersebut, yakni memberikan gelar kepada siswa yang dianggap pantas (lulus-red), dan menggunakan hal tersebut sebagai kualifikasi seseorang dalam mata pelajaran tertentu.
Marching Band Militer
Banyak siswa di sekolah tinggi dan universitas di dunia barat yang akrab dengan marching band. Marching band terdiri dari sekelompok musisi, mereka melakukan pawai ke lapangan selama acara olahraga untuk menghibur penonton dan menghibur para pemain.
Marching band sekolah ini asal muasalnya dikembangkan dari marching band militer selama Zaman Gunpowder di Eropa. Marching band dirancang untuk memotivasi prajurit selama pertempuran. Tradisi ini memiliki asal-usul dalam band mehter Ottoman dari 1300-an yang memompa adrenalin tentara Ottoman hingga menjadi salah satu kekuatan militer yang paling kuat di dunia.
Sebagai bagian dari korps elit Janissary dari Kekaisaran Ottoman, mehter band akan bermain musik dengan sangat keras. Hal itu biasanya mampu menakuti musuh hingga mereka mundur, dan mendorong sekutu termotivasi berperang lebih jauh. Menggunakan drum besar dan simbal, suara yang dihasilkan oleh band mehter mampu meregangkan otot para prajurit sebelum melakukan perjalanan.
Kala Balkan dikuasai oleh Ottoman antara abad ke 14 hingga abad ke 16, band mehter merupakan bagian dari tentara Ottoman yang menakutkan bagi pihak lawan. Bahkan mereka bisa dikatakan hampir tak terkalahkan ketika menghadapi aliansi Eropa.
Terinspirasi mehter band, pihak Eropa kemudian menggunakan band militer untuk menakuti musuh. Sebuah legenda mengatakan pasca pengepungan Ottoman oleh Wina pada tahun 1683, tentara Ottoman yang mundur meninggalkan puluhan alat musik. Alat musik itu kemudian dikumpulkan oleh Austria, dipelajari, dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka sendiri.
setelahnya tentara di seluruh Eropa mulai menerapkan marching band militer, hal ini kemudian merevolusi cara bertempur di Eropa selama berabad-abad.
Kamera
Sulit membayangkan dunia tanpa fotografi. Perusahaan dunia seperti Instagram dan Canon, bekerja dengan gagasan menangkap cahaya dari adegan, menciptakan sebuah gambar, dan mereproduksi gambar. Namun hal ini tidak mungkin terealisasi tanpa adanya hasil karya ilmuwan Muslim abad ke-11, Ibn al-Haytham, yang mengembangkan bidang optik dan menggambarkan bagaimana kamera bekerja untuk pertama kalinya.
Mengabdi di kekaisaran Kairo pada awal 1000-an, Ibn al-Haytham adalah salah satu ilmuwan terbesar sepanjang masa. Al-Haytham acapkali melakukan kajian dan penelitian ilmiah.
Ketika ia dijadikan sebagai tahanan rumah oleh Fatimiyah penguasa al-Hakim, al-Haytham memiliki banyak waktu luang untuk mempelajari mengenai cahaya. Sebagian Penelitiannya fokus pada soal menguji bagaimana lubang jarum dan cahaya bekerja menghasilkan bayangan.
Ibn al-Haytham adalah ilmuwan pertama yang menyadari bahwa ketika sebuah cahaya diproyeksikan pada sebuah lubang kecil dengan sebuah jarum di dalam kotak, maka ia akan menghasilkan sebuah cetak kasar gambar. Semakin kecil lubang untuk diberi pencahayaan (aperture), maka ia akan menghasilkan gambar yang lebih tajam.
Penemuan Ibn al-Haytham mengenai kamera dan bagaimana memproyeksikan dan menangkap gambar menyebabkan perkembangan modern dari kamera di sekitar konsep yang sama. Tanpa penelitiannya, mekanisme modern di dalam kamera semua orang tidak akan pernah ada. []
Sumber: Lost Islamic History.Â