PENENTUAN seseorang sebagai wali Allah, atau wali qutub (ini istilah untuk wali Allah yang dianggap berada pada level yang sangat tinggi, pada tradisi kalangan sufi), menurut Buya Yahya, itu babnya bab husnuzhzhan (sangka baik).
Kadang murid-murid dari seorang guru, melihat keshalihan dan ketaqwaan sang guru, bahkan mungkin melihat perkara khawariq lil ‘adah (perkara-perkara ajaib di luar kebiasaan manusia) pada guru tersebut, kemudian mereka menganggap guru tersebut seorang wali Allah, bahkan wali qutub.
BACA JUGA: Yang Meyakini Seorang Wali Boleh Menyelisihi Syariat Dihukumi Kafir
Jadi penentuan itu bukan ranah itsbat secara qath’i, karena untuk penetapan secara qath’i itu perlu wahyu, sedangkan wahyu sudah terputus sejak wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.
Ini mirip dengan sebutan “asy-syahid” misalnya, pada orang-orang yang zhahirnya terbunuh di medan perang membela Islam, atau dibunuh oleh orang-orang zalim demi kejayaan Islam. Sebutan itu sebagai doa, sekaligus husnuzhzhan kita melihat zhahirnya.
Karena ia merupakan bab husnuzhzhan, maka hal ini tidak bisa dipaksakan. Tidak boleh kita memaksa orang lain untuk mengakui Syaikh A, Kiyai B, Guru C, itu sebagai wali Allah misalnya, meskipun kita sendiri mengakui hal tersebut.
Ini bukan ranah ushul aqidah, yang wajib kita yakini bersama. Bahkan penetapan individu tertentu sebagai wali Allah, bukan masail aqidah sepenuhnya, bukan ushul aqidah, furu’ aqidah juga bukan.
Penentuan Wali Allah
BACA JUGA: 3 Cara Mendapatkan Kemuliaan seperti Para Aulia atau Wali
Kalau saya pribadi, memilih untuk husnuzhzhan, setiap orang yang zhahirnya shalih, min ahlith tha’ah, sangat mungkin dia adalah wali Allah. Dia adalah orang yang dicintai dan dibela oleh Allah ta’ala.
Karena itu, saya sangat menghindari konflik dengan orang-orang semacam ini, khawatirnya di sisi Allah dinilai sebagai orang yang memerangi wali-Nya, wal ‘iyadzu billah.
Kalau pun ada perselisihan pendapat dan pandangan, sebisa mungkin saya fokus pada argumentasi yang bernilai ilmiah (dan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah tabaraka wa ta’ala), dan tidak melakukan celaan pribadi, mengolok-olok, apalagi menghujat melampaui batas.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhammad Abduh Negara