JAKARTA–Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengaku sangat miris atas korupsi yang dilakukan di Kementerian PUPR. Sebab, suap yang diterima oleh pejabat di Kementerian PUPR terkait dengan penyediaan air minum di daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.
“Lebih ironis lagi, korupsi yang kini terjadi dari hasil OTT KPK terhadap para birokrat yang menangani bencana alam, menjadi sesuatu yang secara akal sehat sebenarnya tidak harus terjadi,” kata Abdul Fickar, Ahad (30/12/2018).
Baca Juga:Â Soal Jargon Anti-Korupsi Partai, Wapres JK: Golkar Jangan Contoh Demokrat
Menurutnya, ketika ada pendapat yang menyatakan tepat atau tidak tepat ditetapkan hukuman mati bagi korupsi di daerah bencana alam, dirinya berpendapat tepat dan benar.
Berdasarkan hukum positif, UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana kourpsi (tipikor), korupsi dalam keadaan tertentu diancam dengan hukuman mati, yaitu korupsi yang dilakukan terhadap dana bencana alam dan korupsi pada waktu perang.
“Memang hukuman mati dianggap bertentangan dengan HAM sebagaimana diatur dalam konstitusi / UUD kita. Karena itu, mungkin belum ada koruptor yang dihukum mati,” terangnya.
Baca Juga:Â KPK Upayakan Koruptor Diborgol Saat Menuju Rutan
Tetapi yang pasti hukuman mati di Indonesia masih merupakan hukum positif atau hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu UU Tipikor, Tindak pidana pembunuhan berencana KUHP, UU Narkotika, UU Tenaga atom, UU Terorisme, UU Pengadilan HAM, dan sebagainya.
UU Tipikor mengaturnya pada pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: dalam keadaan tertentu, tipikor dapat dijatuhkan hukuman mati. Penjelasan keadaan tertentu itu, korupsi bencana alam, negara dalam keadaan darurat dan perang serta dalam keadaan krisis moneter yang dilakukan oleh residivis yaitu orang yang korupsinya berulang. []
SUMBER: SINDONEWS