Oleh: Zaky Dafa
DARWINÂ mengakhiri keyakinan bahwa spesies binatang dan tumbuhan tidak berkaitan satu sama lain, kecuali secara kebetulan, dan bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya tidak mengalami perubahan. (Marshall Hall, Hitler, Lenin, Stalin, Mao et al: The Role of Darwinian Evolutionism in Their Lives, http://www.fixedearth.com/hlsm.html)
Menyusul kematian Lenin di tahun 1924, Stalin, yang dikenal luas sebagai diktator paling berdarah sepanjang sejarah dunia, menggantikannya menduduki jabatan pemimpin Partai Komunis. Selama 30 tahun masa pemerintahannya, apa yang dilakukan Stalin hanyalah pembuktian atas kekejaman sistem Komunisme.
Kebijakan penting Stalin yang pertama adalah mengambil alih lahan-lahan milik petani yang berjumlah 80% dari keseluruhan penduduk Rusia atas nama negara. Atas nama kebijakan pengambilalihan dan pengumpulan tanah ini, yang ditujukan untuk menghilangkan kepemilikan pribadi, semua hasil panen para petani Rusia dikumpulkan oleh aparat bersenjata. Akibat yang ditimbulkan adalah bencana kelaparan yang mengenaskan. Jutaan wanita, anak-anak dan orang tua yang tidak mampu mendapatkan apapun untuk dimakan, terpaksa menggeliat kelaparan hingga meninggal. Korban meninggal di Kaukasus saja mencapai 1 juta jiwa.
Selain karena kondisi kejiwaannya, yang paling berpengaruh hingga menjadikannya pembunuh yang demikian kejam adalah filsafat materialis yang ia yakini. Dalam perkataan Stalin sendiri, pijakan utama bagi filsafat ini adalah teori evolusi Darwin. Ia menjelaskan betapa pentingnya pemikiran Darwin:
Tiga hal yang kita lakukan agar tidak melecehkan akal para pelajar seminari kita. Kita harus mengajarkan mereka usia bumi, asal-usul bumi, dan ajaran-ajaran Darwin. (Kent Hovind, The False Religion of Evolution, http://www.royalse.com/scroll/evolve/ndxng.html)
Ketika Stalin masih memerintah rezim totaliternya, rezim Komunis lain yang menganggap Darwinisme sebagai landasan berpijak ilmiahnya didirikan di Cina. Komunis di bawah pimpinan Mao Tse Tung meraih kekuasaan pada tahun 1949 setelah perang sipil yang panjang. Mao mendirikan rezim penindas dan berdarah, persis seperti sekutunya Stalin, yang memberinya dukungan penuh. Hukuman mati dengan alasan politis yang tak terhitung jumlahnya terjadi di Cina. Di tahun-tahun berikutnya, kelompok pemuda militan Mao yang dikenal sebagai “Pasukan Pengawal Merah” menghempaskan negeri ini dalam tirani ketakutan.
Mao secara terbuka mengumumkan dasar filosofis dari sistem yang ia bangun dengan mengatakan: “Sosialisme Cina didirikan di atas Darwin dan teori evolusi.” (K. Mehnert, Kampf um Mao’s Erbe, Deutsche Verlags-Anstalt, 1977)
Selama abad ke-19, Barat menganggap Cina sebagai raksasa yang sedang tidur, terkungkung dan terjebak oleh tradisi kuno. Beberapa orang Eropa mengetahui betapa bersemangatnya kaum intelektual Cina dalam menangkap gagasan evolusi Darwin, dan melihat di dalamnya terdapat dorongan penuh harapan bagi kemajuan dan perubahan. Menurut penulis Cina Hu Shih (Living Philosophies, 1931), ketika buku Thomas Huxley Evolution and Ethics (Evolusi dan Etika) diterbitkan pada tahun 1898, buku tersebut segera dikagumi dan diterima oleh kalangan intelektual Cina. Orang-orang kaya mendanai penerbitan edisi berbahasa Cina dari buku tersebut agar dapat tersebar luas ke masyarakat. (Robert Milner, Encyclopedia of Evolution, 1990, hal. 81)
Bencana Kemanusiaan Akibat Ideologi Komunisme
Para teroris yang terpengaruh oleh pandangan materialis-Darwinis, sebagaimana binatang yang mereka yakini sebagai asal-usul mereka, pergi jauh ke gunung dan tinggal di gua-gua dalam keadaan yang memprihatinkan. Mereka dapat membunuh manusia tanpa perlu berpikir panjang, dan menghabisi nyawa bayi, orang tua dan orang tak berdosa. Tanpa memandang diri sendiri dan orang lain sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan yang dilengkapi dengan ruh, akal, hati, dan pemahaman, mereka memperlakukan satu sama lain sebagaimana halnya binatang memperlakukan sesamanya. Penghancuran lusinan gereja dan masjid oleh Stalin hanyalah satu bentuk kebencian Komunis terhadap agama.
Dalam bukunya “The Long War Against God” (Perang Panjang Melawan Tuhan), Henry Morris menjelaskan kaitan tersebut sebagaimana berikut ini:
Meskipun secara ilmiah memiliki banyak kekurangan, sifat ilmiah yang dianggap ada pada evolusi telah biasa digunakan untuk membenarkan semua bentuk sistem beserta penerapannya yang anti-Tuhan. Yang paling berhasil, sejauh ini, tampaknya adalah komunisme, dan para pengikutnya di seluruh dunia telah terperdaya untuk berpikir bahwa komunisme pasti benar karena didasarkan pada ilmu evolusi. (Henry M. Morris, The Long War Against God, Baker Book House, 1989, hal. 57)
Permusuhan Komunisme dan Materialisme terhadap agama menjelma dalam berbagai bentuk kekerasan selama pemberontakan Bolshevik. Bangunan gereja dan masjid dihancurkan. Di antara yang tidak diakui keberadaannya dan tidak digolongkan dalam “masyarakat sosialis baru”, terutama adalah kaum agamawan. Meskipun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat adalah agamis, mereka dipersulit untuk melaksanakan kewajiban agama mereka. Dalam rangka menjadikan Minggu, saat orang Kristiani pergi ke gereja, bukan sebagai hari suci, gagasan tentang hari libur bersama dihilangkan. Setiap orang bekerja selama 5 hari, tapi hari libur mingguan dapat diambil kapan saja. Kebijakan ini sengaja diberlakukan kaum komunis “untuk membantu usaha penghapusan agama”.
Marx dan Engels pada dasarnya menegaskan secara khusus bahwa revolusi akan selalu diwarnai kekerasan dan para pelaku revolusi harus menggunakan kekerasan melawan para penguasa, dan dalam beberapa hal mereka benar-benar menampakan dukungan terhadap terorisme. (Samuel T. Francis, The Soviet Strategy of Terror, The Heritage Foundation, 1981, hal. 46)
Pernyataan pendiri komunisme diatas sesuai dengan fakta lapangan. Berdasarkan perkiraan tidak resmi, memberikan kita gambaran tentang tingkat kejahatan ini: Uni Soviet 20 juta korban jiwa, Cina 65 juta korban jiwa, Vietnam 1 juta korban jiwa, Korea Utara 2 juta korban jiwa, Kamboja 2 juta korban jiwa, Eropa timur 1 juta korban jiwa, Amerika Latin 150.000 korban jiwa, Afrika 1,7 juta korban jiwa, Afghanistan 1,5 juta korban jiwa, Pergerakan Komunis dunia dan partai-partai Komunis yang tidak berkuasa sekitar 10,000 korban jiwa. Total mendekati 100 juta korban jiwa. (Stéphane Courtois, Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartosek, Jean-Louis Margolin, The Black Book of Communism, Harvard University Press, 1999, hal. 4)
Epilog
Siapapun yang mencermati pembantaian, pembunuhan, dan penderitaan yang sengaja ditimpakan terhadap manusia oleh orang-orang Komunis, Nazi, atau Kolonialis, akan bertanya-tanya bagaimana para pendukung berbagai paham ini dapat menjauhkan diri mereka sendiri dari sifat-sifat yang umumnya ada dalam diri manusia.
Alasan satu-satunya dari kebiadaban dan penindasan yang dilakukan oleh para pemimpin ini adalah hilangnya agama dalam diri mereka dan ketiadaan rasa takut kepada Tuhan. Manusia yang takut kepada Tuhan dan memiliki keimanan yang mantap kepada hari akhir, sudah pasti tidak akan mampu melakukan segala bentuk penindasan, kejahatan, ketidakadilan, dan pembunuhan sebagaimana yang telah kami paparkan. Selain itu, betapapun ia dipengaruhi, seseorang yang beriman kepada Tuhan dan hari akhir tidak akan pernah terseret untuk mengikuti ideologi yang sedemikian menyesatkan.
Melihat sejarah kelam komunisme yang berlangsung satu abad silam, sudah seharusnya masyarakat khususnya di Indonesia mewaspadai berbagai aktivitas yang berbau ideologi komunis di tanah air dan tidak menganggap remeh gerakan sekecil apapun. Indonesia sendiri sudah pernah merasakan pengalaman pahit dengan kelicikan gerakan-gerakan komunis pra dan pasca kemerdekaan yang merenggut banyak sekali nyawa manusia. Kekalahan komunisme di Indonesia dan bertaubatnya para pengikut ideologi tersebut sepatutnya disyukuri oleh bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia jangan lagi kecolongan karena alih-alih sekadar menjadi tren segelintir anak muda, penyebaran simbol palu arit dan berbagai situs dan grup-grup yang mengusung komunisme di sosial media dibiarkan begitu saja tanpa antisipasi dan tindakan preventif yang berarti. Karena bisa jadi karena media-media seperti itulah akhirnya bangsa Indonesia lama kelamaan ‘lupa sejarah’ dengan tidak lagi menganggap komunisme sebagai ideologi berbahaya dan malah kembali mendukungnya sehingga sejarah kelam kita kembali terulang. WaLlahu A’lam. []
HABIS