DALAM kitab “Ushul Al-Fiqh Alladzi Laa Yasa’u Al-Faqih Jahluhu”, karya Dr. ‘Iyadh bin Nami As-Sulami, disebutkan definisi “makruh” menurut istilah syara’. Dikatakan, makruh menurut syara’ artinya adalah haram.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang menyebutkan sekian hal yang diharamkan, kemudian menutupnya dengan:
كل ذلك كان سيئه عند ربك مكروها
Artinya: “Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.”
Pada ayat di atas (Surah Al-Isra [17]: 38) disebutkan kata “makruh” yang bermakna dibenci dan tidak diridhai Allah ta’ala, dan berarti ia haram.
Dan juga berdasarkan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, melalui shahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu:
وكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال
Artinya: “Dan Allah membenci pada kalian qiila wa qaala, banyak bertanya yang tidak bermanfaat dan menyia-nyiakan harta.”
BACA JUGA: Memahami Hukum Makruh
Pada Hadits di atas, disebut kata “kariha” yang merupakan bentuk fi’il madhi dari makruh, dan itu maknanya “mengharamkan”.
Ada seseorang saat membaca ini, merasa menemukan harta karun, kemudian dia membuat pernyataan yang maknanya, “Orang-orang selama ini hanya tahu istilah makruh menurut para ulama fiqih dan ushul fiqih, tapi tak tahu maknanya menurut istilah syara’.”
Dari beberapa indikasi yang ada, kuat dugaan orang ini ingin menunjukkan kekeliruan mengartikan makruh sebagaimana yang dipahami orang-orang sebelum ini, dan menganggap bahwa makna makruh yang tepat adalah haram, dibenci Allah ta’ala, sama sekali tak boleh dilakukan, dan berdosa jika melakukannya.
Padahal Dr. ‘Iyadh bin Nami, saat menyebutkan makna syar’i dari istilah “makruh”, tidak sedang berupaya mengkonfrontasikan makna syar’i tersebut dengan makna istilahi yang dikenal di kalangan fuqaha dan ushuliyyun.
Setelah menyebutkan arti makruh menurut syara’, beliau kemudian menyebutkan artinya menurut istilah fuqaha dan ushuliyyun, serta merincikannya, tanpa sedikit pun membenturkannya dengan makna syar’i yang beliau sebutkan sebelumnya.
Tujuan beliau menyebutkan makna syar’i dari makruh, sebenarnya hanya untuk menunjukkan bahwa istilah makruh itu disebutkan dalam nash-nash syar’i, dengan makna yang berbeda dengan penggunaannya di kitab-kitab fiqih, agar pembaca tidak salah memahaminya saat membaca nash-nash syar’i tersebut.
Sebagaimana kita juga ketahui, di kalangan ulama salaf, sebelum istilah-istilah fiqih dibakukan dan diajarkan secara luas, mereka kadang menggunakan istilah “makruh”, “yukrahu”, “akrahu”, dan semisalnya, untuk menunjukkan hukum haram, tidak boleh dilakukan, dan yang melakukannya berdosa.
Kita perlu tahu hal ini, agar saat membaca pernyataan dari mereka, kita tidak terkecoh dan salah memahami ungkapan mereka.
BACA JUGA: Makruh Mengulang Jima tanpa Wudhu?
Namun setelah istilah-istilah fiqih dibakukan, maka para ulama menetapkan bahwa makruh itu adalah perkara yang dilarang oleh syara’ tapi tanpa larangan tegas, sehingga masih boleh dilakukan, atau ia adalah perkara yang jika ditinggalkan berpahala dan jika dilakukan tidak berdosa.
Inilah pengertian makruh menurut mayoritas ahli fiqih dan ushul fiqih, dan menjadi ‘urf di kalangan mereka.
Karena itu, saat kita membaca karya para ulama ini, dan menemukan istilah “makruh” di sana, kita harus memahaminya sesuai ‘urf mereka, bukan sesuai makna dalam nash-nash syar’i, juga bukan sesuai makna yang dikemukakan ulama salaf sebelum istilah-istilah fiqih dibakukan.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara