QIYAS merupakan istilah yang sering kita temui dalam suatu bahasan perkara Islam. Namun tak jarang dari kita tidak mengetahui apa pengertian dari qiyas tersebut.
Qiyas secara etimologi mengandung beberapa makna, dan yang terpenting ialah makna “persamaan” (al-musawah) dan “pengukuran” (altaqdir).
Makna “persamaan” itu dalam arti mutlak, baik yang bersifat indrawi, misalnya, ungkapan “qasa al-tsaub bi al-tsaub”(pakaian ini menyamai pakaian itu) dan ungkapan “qistu al-burtuqalah bi al-burtuqalah” (saya menyamakan jeruk ini dengan jeruk itu).
Sedangkan makna persamaan yang bersifat non indrawi terlihat pada ungkapan “fulan yuqasu bi fulan” (si fulan tidak disamakan dengan si fulan). Sedangkan makna pengukuran (al-taqdir) terdapat pada ungkapan “qasa al-tsaub bi al-mitr” ( dia mengukur pakaian itu dengan alat meteran), dan ungkapan “qasa alard bi al-qasbah” (dia mengukur tanah itu dengan bambu).
BACA JUGA: Inilah 3 Penjelasan Khamar dalam Islam
Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai rumusan yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh, berbagai rumusan definisi qiyas yang mereka kemukakan dapat dikategorisasikan sebagai berikut:
مساوة فرع لأص فى علة حكمه
Artinya: Persamaan far`u dengan asl dalam hal `illat hukumnya.
حم معللم على معللم فى إثبات حكوم لهموا أو نفيوه عنهموا بوأمر جوامم بينهموا مون إثبوات حكوم أو صوفة أونفيهموا
عنهما.
Artinya: Menghubungkan sesuatu kepada sesuatu yang lain perihal ada atau tidak adanya hukum berdasarkan unsur yang mempersatukan keduanya, baik berupa penetapan maupun peniadaan hukum /sifat dari keduanya.
Menurut Abu Zahrah, qiyas adalah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nas hukumnya kepada perkara baru yang ada nas hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah qiyas adalah:
حم فرع على أص فى حكم بجامم بينهما
Artinya: Menghubungkan furu’ kepada asl dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.
Para ahli usul menyatakan bahwa qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nasnya baik dalam Alquran maupun hadis dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Dapat dipahami secara tidak langsung bahwa qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan nash (Alquran dan hadis) kepada sesuatu yang disebutkan hukumnya karena serupa makna hukum yang disebutkan.
Dengan demikian, ketetapan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya dapat dikatagorikan sebagai qiyas, dengan dalil harus memenuhi keempat rukunnya.
Empat Unsur Rukun Qiyas
1. AL-Asl (pokok) yaitu sumber hukum yang terdiri dari nas yang menjelaskan tentang hukum, sebagian besar ulama menyebutkan bahwa, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nas, baik nas Alquran, hadis maupun ijma`, dan tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Asl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran), Mahmul `alaih atau musyabbah bih (tempat menyamakan).
2. Al-Far`u (cabang) yaitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nasnya. Artinya, kasus yang ada tidak diketahui hukumnya secara pasti. Al-Syafi`i, dalam hal ini mengatakan, bahwa far` itu adalah suatu kasus yang tidak disebutkan hukumnya secara tegas dan diqiyaskan kepada hukum aslinya. Al-Far’u disebut juga maqis (yang diukur), mahmul atau musyabbah (yang diserupakan).
3. Al-Hukm, yaitu hukum yang terdapat pada asl. Hukum disini adalah hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik secara tegas maupun ma`nawi. Ini berarti, hukumnya harus berdasarkan Alquran dan Hadis, harus dapat dicerna akal tentang tujuannya dan hukum yang ditetapkan bukan masalah rukhsah dan khusus.
4. ‘Illat, secara bahasa dapat berarti al-maradh, yaitu penyakit, atau al-sabab, yaitu sebab yang melahirkan atau menyebabkan adanya sesuatu Dalam konteks qiyas, maka pengertianya yang kedua, yaitu “sebab” adalah lebih sesuai, karena `illat tersebut menyebabkan tetapnya hukum pada far`u yang dituntut untuk menetapkan hukumnya.
Al-Juwayni mendefenisikan Illat sebagai berikut:
والعلة هى الجالبة للحكم بمناسبتها له. 66
Artinya: `Illat itu adalah sesuatu yang melahirkan ketentuan hukum karena keserasiannya bagi ketentuan hukum tersebut.
Pengertian Illat
Menurut al-Ghazali, bahwa `illat itu adalah sifat yang berpengaruh terhadap adanya hukum dengan sebab ditetapkan Allah, sedangkan menurut al-Syafi`i, `illat itu wasf yang zahir, mundabit dan mu`arrif . hukum furu` sama dengan hukum pada asl.
Artinya, bahwa `illat itu harus dapat dicerna oleh panca indra dan harus nyata. Bilamana sifat ini ditemukan pada furu`, status hukum yang terdapat pada asl menjadi berlaku pula pada furu. Inilah maksud dari ungkapan : al-hukm yaduru ma`a `illatihi wujud-an wa `adam-an (keberadaan hukum itu mengikuti keberadaan
`illat).
Untuk lebih jelasnya pemahaman terhadap masing-masing rukun qiyas tersebut dikemukakan contoh sebagai berikut: Bagaimana hukum menjual harta anak yatim. Nasnya tidak ada; yang ada makan harta anak yatim. Jadi hukumnya haram berdasarkan Surah an-Nisa` ayat 10.
1. Makan harta anak yatim disebut asl.
2. Menjual harta anak yatim disebut furu’.
3. Haram makan harta anak yatim disebut hukum asl.
4. Makan harta anak yatim itu sifatnya mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim, disebut ‘illat.
Menjual harta anak yatim sifatnya juga mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim tersebut. Berarti menjual harta anak yatim sama sifatnya (‘illatnya) dengan makan harta anak yatim. Dengan demikian menjual harta anak yatim hukumnya haram menurut Qiyas”.
Alquran dan hadis secara eksplisit tidak pernah membicarakan qiyas, namun sebagaimana diketahui, bahwa keduanya adalah sumber hukum utama yang sifatnya terbatas dan hanya memuat kansep-konsep umum dalam rangka menjawab setiap persoalan yang muncul. Keduanya memberi peluang bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dengan qiyas.
BACA JUGA: Muslimah Mengusap Kerudung saat Wudhu, Ini Kata Ulama 4 Mazhab
Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa` (4:59) yang berbunyi :
يايها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم فان تنازعتم في شيئ فردوه الى الله
والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر ذلك خير واحسن تأويلا.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul dan pemimpin-pemimpin diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur`an) dan Rasul (alHadis) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.
Kata-kata ” فردوه الى الله والرسول ” mengandung arti, mengembalikan semua peristiwa yang muncul kepada Alqur`an dan hadis meliputi berbagai cara, termasuk dengan menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nas hukumnya karena ada kesamaan `illat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Alquran maupun hadis telah menjawab segala persoalan yang muncul baik secara tekstual maupun isyarat.
Disamping itu, hadis juga menggambarkan praktek qiyas melalui ijtihad. Seperti peristiwa Muaz bin Jabal ketika diutus Rasul ke Yaman. Sebagaimana disebutkan, salah satu landasan menetapkan hukum disamping Alquran dan hadis adalah ijtihad, termasuk menganalogikan peristiwa yang tidak ada nasnya kepada yang ada nasnya dengan persamaan `illat. []
Sumber: Diktat Fikih Usul Fikih | Karya Enny Nazrah Pulungan, M.Ag. | Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan