HALAL tidak hanya untuk makanan saja. Kita sebagai Orang Islam juga harus bekerja dan mendapat penghasilan dengan cara yang halal. Penghasilan yang tidak halal atau dengan cara yang tidak halal harus kita hindari. Dan salah satu contoh cara berpenghasilan yang tidak halal itu adalah dengan berbuat riba.
Riba, mungkin kita sudah tidak asing mendengar kata ini. Namun, untuk menambah pengetahuan dan agar kita bisa sepenuhnya paham tentang riba, berikut Definisi Riba yang ditulis oleh DR. Muhammaad Syafi’I Antonio, M. Ec.:
Riba secara bahasa bermakna: ziyadah. Dalam pengertian lain, secara linguistic, riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau betentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
BACA JUGA: Atheisme dan Riba
Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya surat an-Nisa ayat 29 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…..”
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan,
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeombang yang dibenarkan syariah.”
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegimitasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang yang diterimanya.
Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.
Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.
BACA JUGA: Larangan Riba, Begini Hadits Menyatakannya
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagi mazhabib fiqhiyyah. Diantaranya sebgai berikut:
1 Badr ad-Din al-Ayni, Pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
2 Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
“Riba, adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
3 Ragibh al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”
4 Imam an-Nawawi dari Mazhab Syafi’i
“Salah satu bentuk Riba yang dilarang Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsure waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuia lama waktu pinjaman.”
5 Qatadah
“Riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan sipembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
6 Zaid bin Aslam
“Yang dimaksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan dengan waktu adalah seseorang yang memilikipi utang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo, ia berkata ‘Bayar sekarang tau tambah.’”
BACA JUGA: Kejamnya Riba
7 Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar), si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”
8 Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali
Ketika Imam bin Ahmad ditanya tentang riba, ia menjawab, “Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan.” []
Sumber: Bank Syariah: Dari Teorike Praktik/Muhammad Syafi’I Antonio/Penerbit: Gema Insani/2004