SEJAK awal, kata “taqlid” sudah dipahami salah dan dikonotasikan negatif oleh sebagian pihak. Seakan, taqlid itu adalah ta’ashub. Padahal, dua hal ini sangat jauh berbeda. Jika berbeda, maka harus dibedakan walaupun sekilas sama.
Menyamakan dua hal yang berbeda (walau sekilas sama) dalam satu hukum, merupakan salah satu bentuk kezaliman terbesar. Demikian juga sebaliknya.
Taqlid itu maksudnya mengikuti pendapat para ulama mujtahidin. Bagi orang awam atau seorang penuntut ilmu yang tidak mencapai derajat ahli ijtihad, maka wajib untuk bertaqlid kepada para imam mujtahidin dalam memahami teks-teks dalil dan hukum-hukum syar’i.
BACA JUGA: Persoalan yang Keharamannya Diperselisihkan Ulama, Tidak Diingkari
Karena mereka (para mujtahidin), merupakan pihak yang memiliki kapasitas dan otoritas untuk memahami dalil dan melakukan istinbath (memetik) hukum-hukum syar’i.
Tidak ada celah sedikitpun bagi orang awam untuk berijtihad disebabkan ketiadaan piranti dan kemampuan yang mereka miliki. Dalilnya, firman Allah Ta’ala: “Bertanyalah kalian kepada ahli dzikri (para ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya : 7).
Taqlid dalam arti yang telah kami sampaikan, hanya sebatas mengikuti pendapat ulama mujtahidin dan menyakini kebenarannya untuk diamalkan dengan tetap memposisikan hal itu sebagai hasil ijtihad yang bersifat dzanni (praduga), bukan qath’i (pasti).
Kalau dzanni, maka ada kemungkinan benar tapi juga punya kemungkinan salah. Sehingga hal ini memaksa kita untuk tetap menghargai pendapat ulama yang lain yang berbeda dengan kita.
Kata Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Pendapatku benar tapi punya kemungkinan salah. Dan pendapat selainku salah tapi punya kemungkinan benar.”
Taqlid di sini hanya berlaku untuk orang awam dan para penutut ilmu yang tidak mencapai level mujtahid. Adapun para ulama ahli ijtihad, secara umum dilarang untuk bertaqlid kepada ulama yang lain.
Kami katakan secara umum, karena ada kalanya disebabkan hal-hal tertentu seorang ulama ahli ijtihad boleh untuk bertaqlid kepada mujtahid yang lainnya.
Seperti imam Ahmad bin Hanbal yang bertaqlid kepada gurunya, Imam Asy-Syafi’i dalam suatu permasalahan. Sehingga kalau kita jumpai ada pernyataan dari para mujtahidin yang melarang taqlid, itu maksudnya ditujukan kepada para ulama yang mencapai derajat ahli ijtihad, bukan ditujukan kepara orang awam seperti kita. Kenapa dilarang? Ya, karena mereka memiliki kemampuan untuk berijtihad sendiri.
BACA JUGA: Siapakah para Ulama Sesungguhnya?
Adapun ta’ashub adalah fanatisme buta, yaitu menyakini sebuah pendapat dari para ulama yang bersifat “ijtihadi” sebagai kebenaran mutlak dan selainnya sebagai kesalahan atau kesesatan. Kalau ini jelas dilarang dalam Islam. Tidak ada seorang pun ulama yang membolehkannya. Jadi, taqlid itu amat sangat berbeda dengan ta’ashub.
Maka amat sangat aneh kalau ada yang mencela taqlid secara mutlak dan menyamakannya dengan ta’ashub. Lebih parah lagi menyamakan taqlid kepada mazhab fiqh, khususnya madzahib arba’ah (Hanafi, Malki, Syafi’i dan Hanbali) dengan taqlidnya orang-orang kafir dan musyrikin di zaman Nabi kepada nenek moyangnya.
Pernyataan seperti ini hanya akan muncul dari orang-orang yang tidak pernah belajar ushul fiqh, atau pernah belajar tapi tidak memahaminya dengan baik. Wallahu a’lam. []
Oleh: Abdullah Al-Jirani