Oleh: Fachriy Aboe Syazwiena
AKU kembali teringat potongan episode kehidupan yang begitu menghentak kesadaranku tentang arti sebuah keutuhan dalam sebuah biduk rumah tangga. Aku semakin memahami betapa sebuah komunikasi yang sehat dan persangkaan baik terhadap pasangan adalah pondasi dan benteng kokoh yang menguatkan jalinan kasih sepasang merpati dalam menjaga keutuhan rumah tangga seorang muslim.
Hari-hari yang lalu adalah momen dalam keluarga kami yang dipenuhi agenda dan setumpuk pekerjaan. Suatu malam, setelah kelar dari salah satu aktifitasnya, ayah begitu lapar. Mengetahui kondisi ini, ibu pun menyiapkan beberapa makanan di atas meja disertai roti bakar.
Sayangnya roti tersebut hampir gosong sempurna. Aku berpikir bahwa ayah tidak suka, tidak mau memakannya atau akan melempar kemarahannya kepada ibu.
Tetapi tidak. Aku telah salah menilai ayah. Kulihat ayah memperhatikan roti bakar yang hampir hangus sempurna itu dengan datar seperti biasa.
“Oya, bagaimana hari-hari di sekolahmu, sayang?” Ayah mengarahkan tatapan hangatnya untukku.
Aku lupa bagaimana jawaban yang kuberikan kepada ayah saat itu. Aku hanya mengingat bahwa ayah membentangkan tangannya sambil tersenyum kepada ibu untuk mengambil sepotong roti, mengolesnya dengan selai, lalu menyantapnya dengan lahap selahap menikmati makanan lain di hari dan musim yang lewat.
Kutengok ayah menambah rotinya. Dimakannya sampai semuanya habis.
“Ayah, bunda minta maaf ya. Rotinya gosong. Ini salah bunda.” Aku mendengar suara ibu saat aku bangkit dari meja makan dan meninggalkan mereka berdua karena ada tugas dari sekolah yang mesti segera kuselesaikan di kamar.
Jawaban ayah kepada ibu benar-benar tak terlupakan dalam memoriku:
“Bunda sayang. Ini hal yang biasa. Bunda tak perlu minta maaf. Terkadang ayah suka roti yang memang sedikit gosong. Ini spesial.”
Tak ada umpatan, marah, kerutan dahi, dan kata-kata yang kurang nyaman dari ayah. Ayah mampu mengolah katanya di hadapan ibu.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Benarkah ayah terkadang suka dengan roti yang gosong atau berbohong di hadapan ibu? Di lain kesempatan, aku menemui ayah dan benar-benar menanyakan ini.
“Ayah, aku ingin bertanya. Apa benar ayah terkadang suka dengan roti yang gosong? Apakah ayah jujur atau berbohong di hadapan ibu?”
Ayah dengan penuh perhatian menghadapkan badannya ke arahku. Sambil menggenggam lembut telapak tanganku, ayah menuturkan sebuah jawaban yang menunjukkan bahwa ia adalah memang lelaki pilihan: “Ananda sayang. Pertama, saat itu ibumu begitu letih karena banyak yang ia kerjakan di hari itu. Dan engkaupun mengetahuinya. Kedua, roti gosong tak akan membahayakan siapapun. Hidup ini begitu penuh dengan kekurangan dan tak ada seorang pun yang sempurna tak beraib.”
“Ananda, kita perlu belajar dan memahami bagaimana menghadapi ketidaksempurnaan dalam suatu hal dan bagaimana menghadapi dan menerima kekurangan orang lain. Ini begitu penting dan ianya adalah kesempatan menguatkan sebuah hubungan. Saling memahami, memaafkan dan berbaik sangka adalah pondasi dalam mengualitaskan sebuah ikatan antara dua pihak.”
“Ananda, dalam sebagian kesempatan engkau mesti lembut dari biasanya. Karena ketika engkau mencari cela dan menghasut kesalahan seseorang maka perang kesumat akan berkobar. Roti gosong boleh tak nyaman di lidah tapi ia tak boleh menjadikan hati tersakiti.”
Aku tak akan melupakan momen itu. Ayah dan tutur katanya telah menjadi penghangat di malam-malam musim dingin ini. []
____
Diterjemahkan dan diadaptasi dari akun ikhwah Mesir, akhuna Musthafa al-Az-hariy
Asrama LIPIA Jakarta (101)
Sabtu, 24 Rabi’u ats-Tsaniy 1436/ 14 Feb. 2015 M