SEORANG pengusaha paruh baya sedang berlibur di sebuah desa pesisir nelayan. Suatu hari, ia menyaksikan perahu kecil ditarik ke dermaga oleh seorang nelayan muda. Di dalam perahu, terdapat beberapa ikan tuna kuning besar. Si pengusaha itu memuji tangkapan nelayan muda itu.
“Berapa lama waktu yang kaubutuhkan untuk menangkap ikan-ikan itu?” santai sang pengusaha bertanya.
“Oh, beberapa jam,” jawab nelayan .
“Kenapa kau tidak bekerja lebih lama dan menangkap lebih banyak ikan?” pengusaha itu bertanya.
Dengan hangat, si nelayan menjawab, “Ini saja sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya.”
BACA JUGA: Balon dan Kebahagiaan Kita Sendiri
Si pengusaha kemudian menjadi serius, “Tapi apa yang kaulakukan dengan sisa waktumu?”
Si nelayan tersenyum. Ia menjawab, “Saya tidur larut malam, bermain dengan anak-anak saya, menonton pertandingan bola, dan tidur siang sebentar. Kadang-kadang di malam hari saya berjalan-jalan ke desa untuk bertemu teman-teman saya, mengobrol sedikit kesana-kemari…”
Sang pengusaha memotong, “Lihat, aku punya gelar MBA dari universitas terkenal, dan aku dapat membantu kamu lebih beruntung. Kau bisa memulai dengan menangkap ikan beberapa jam lagi setiap hari. Kau bisa menjual lebih banyak ikan. Dengan tambahan uang, kau bisa membeli perahu yang lebih besar. Dengan penghasilan tambahan perahu yang lebih besar, kau bisa membeli perahu lain, perahumu akan bertambah, dua, tiga, empat dan seterusnya, sampai kau akan memiliki seluruh armada kapal nelayan. ”
Otak bisnis si pengusaha semakin berjalan. Bangga dengan pemikirannya yang ia anggap sangat visioner, si pengusaha membeberkan suatu skema besar yang bisa membawa keuntungan yang lebih besar—baik untuk si nelayan muda dan tentu saja dirinya, “Lalu, alih-alih menjual hasil tangkapan ke tengkulak, kamu bisa menjual ikan langsung ke prosesor, atau bahkan membuka sendiri pengalengan. Akhirnya, kau bisa mengontrol produk, pengolahan dan distribusi ikan. Kau bisa meninggalkan desa pesisir kecil ini dan pindah ke kota besar, atau bahkan mungkin ke negara-negara maju, di mana kau bisa lebih jauh mengembangkan usahamu.”
Si nelayan tidak pernah memikirkan apa yang dikatakan oleh sang pengusaha. Tapi tak urung ia pun, “Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meraih semua itu?”
Setelah perhitungan yang cepat, sang pengusaha berucap, “Mungkin sekitar 15-20 tahun, dan mungkin kurang dari itu jika kau bekerja sangat keras.”
“Setelah itu apa, Tuan?” tanya sang nelayan muda.
Si pengusaha tertawa mendengar pertanyaan nelayan muda itu. “Itu yang terbaik! Ketika waktunya tepat, kau akan menjual saham perusahaan ke publik dan menjadi sangat kaya. Kau akan mengasilkan ratusan milyar.”
“Ratusan milyar? Benarkah? Apa yang akan saya lakukan dengan semua itu?” tanya si nelayan muda.
Pengusaha itu berkata lagi, “Kau bisa bahagia pensiun dengan semua uang yang kauhasilkan. Kau bisa pindah ke sebuah desa nelayan pesisir kuno di mana kau bisa tidur larut malam, bermain dengan cucu-cucumu, menonton pertandingan bola, dan tidur siang. Kau bisa berjalan-jalan ke desa di malam hari di mana kau bisa bertemu dengan teman-temanmu yang kauinginkan.”
Si nelayan muda memandangi wajah sang pengusaha tua itu. “Tawaran Anda sangat menarik hati saya, Tuan. Tapi dengan melakukan apa yang Anda lakukan, saya pikir, saya akan kehilangan momen-momen seperti sekarang yang saya dapatkan, hari ini: tangkapan yang cukup ini, derai tawa anak-anak saya, tidur siang, pertemuan dengan teman-teman saya.
“Jika saya berhasil nanti, jika Allah SWT mengizinkan saya berhasil, saya tidak tahu, apakah saya masih sempat akan menikmati hal-hal seperti sekarang ini ataukah tidak. Bagi saya, waktu sekarang yang saya punyai, semua hal yang saya miliki hari ini, adalah yang terbaik yang sudah diberikan oleh Allah SWT kepada saya dan keluarga saya.
BACA JUGA: Aku Menyayangimu, Bro!
“Adapun hari esok, saya masih tetap akan berusaha sebaik mungkin. Rezeki kita sudah diatur olehNya, namun untuk saya pribadi, cukuplah apa yang sudah diberikan Allah SWT dalam hidup saya sekarang ini…”
Sang pengusaha terdiam. Ia balik memandangi wajah si nelayan muda. Tiba-tiba ia teringat, ia juga pernah muda, namun tampaknya ia tak pernah menyadarinya. []