Oleh: Rifqy Ananda Handoyo
Prodi : Ahwal Asy-Syakhsiyyah
Universitas PTIQ Jakarta
rifqyhandoyo18@gmail.com
“KAMU sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Yang pertama: Dalam Tafsir Wajiz karangan Ibnu Athiyyah
Pada ayat ini Allah mengingatkan kepada mereka yang ingin berpoligami. Dan kamu, wahai para suami, tidak akan dapat berlaku adil yang mutlak dan sempurna dengan menyamakan cinta, kasih sayang, dan pemberian nafkah batin di antara istri-istri-mu, karena keadilan itu merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan dan bahkan di luar batas kemampuan kamu, walaupun kamu dengan sungguh sungguh sangat ingin berbuat demikian.
Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada perempuan-perempuan yang kamu cintai dan kamu ingin nikahi, sehingga kamu membiarkan istri yang lain terkatung-katung, seakan-akan mereka bukan istrimu, dan bukan istri yang sudah kamu ceraikan. Dan jika kamu mengadakan perbaikan atas kesalahan dan perbuatan dosa yang telah kamu lakukan sebelumnya dan selalu memelihara diri dari kecurangan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa yang kamu lakukan, Maha Penyayang dengan memberikan rahmat kepadamu.
BACA JUGA: Munasabah antar Surah dalam Al-Qur’an: Akhir Surah Al-Waqi’ah dengan Awal Surah Al-Hadid
Yang Kedua: Dalam Riwayat Imam Ahmad dan kitab Sunan sunan.
Aisyah r.a. berkata: Adalah Rasulullah saw membagi giliran antara istri-istrinya, ia berlaku adil, dan berdoa, ‘Ya Allah, inilah penggiliranku sesuai dengan kemampuaku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau kuasai, tetapi aku tidak menguasai.
Berdasarkan sebab turun ayat ini, maka yang dimaksud dengan berlaku adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam hal membagi waktu untuk masing-masing istrinya, Rasulullah saw telah berusaha sekuat tenaga agar beliau dapat berlaku adil di antara mereka. Maka ditetapkanlah giliran hari, pemberian nafkah dan perlakuan yang sama di antara istri-istrinya.
Sekalipun demikian, beliau merasa bahwa beliau tidak dapat membagi waktu dan kecintaannya dengan adil di antara istri-istrinya. Beliau lebih mencintai ‘Aisyah r.a. daripada istri-istrinya yang lain. Tetapi ‘Aisyah memang punya kelebihan dari istri-istri Nabi yang lain, antara lain ialah kecerdasannya, sehingga ia dipercayai oleh Nabi untuk mengajarkan hukum agama kepada kaum perempuan.
Hal ini dilakukan sampai Rasulullah wafat dan banyak sahabat, terutama kalangan perempuan sering bertanya kepada ‘Aisyah mengenai hukum atau hadis. Sungguhpun begitu, beliau merasa berdosa dan mohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun.
Dengan turunnya ayat ini hati Rasulullah saw menjadi tenteram, karena tidak dibebani dengan kewajiban yang tidak sanggup beliau mengerjakannya. Dari keterangan di atas dipahami bahwa manusia tidak dapat menguasai hatinya sendiri, hanyalah Allah yang menguasainya. Karena itu sekalipun manusia telah bertekad akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun ia tidak dapat membagi waktu dan cintanya antara istri-istrinya secara adil.
Keadilan yang dituntut dari seorang suami terhadap istri-istrinya ialah keadilan yang dapat dilakukannya, seperti adil dalam menetapkan hari dan giliran antara istri-istrinya, adil dalam memberi nafkah, adil dalam bergaul dan sebagainya.
Allah memperingatkan, kepada para suami karena tidak dapat membagi cintanya di antara istri-istrinya dengan adil, janganlah terlalu cenderung kepada salah seorang istri, sehingga istri yang lain hidup terkatung-katung, hidup merana, hidup dalam keadaan antara terikat dalam perkawinan dengan tidak terikat lagi, dan sebagainya.
Jika para suami selalu berusaha mendamaikan dan menenteramkan para istri dan memelihara hak-hak istrinya, Allah mengampuni dan memaafkan dosanya yang disebabkan oleh terlalu cenderung hatinya kepada salah seorang istrinya, Allah Maha Pengasih kepada hamba-Nya.
Ayat ini merupakan pelajaran bagi orang yang melakukan perkawinan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsunya saja dan orang yang punya istri lebih dari satu orang.
Yang Ketiga: Imam Jalaluddin Al-Mahalli (Tafsir Jalalain Juz 1/hal. 89) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ta’diluu” adalah menyamaratakan (“taswuu“) kasih sayang pada para istri. Hal ini tidak akan mampu dilakukannya oleh siapapun. Bagaimanapun usaha kita untuk berlaku adil, tetap tidak akan mampu berlaku adil seutuhnya. Kita (yang berpoligami) tidak boleh memaksakan diri dalam hal tersebut. Juga tidak boleh condong pada salah satu istri dan menelantarkan istri yang lain.
Namun, di akhir ayat tersebut Imam Jalaluddin Al-Mahalli menjelaskan bahwa ketika orang yang berpoligami sudah berusaha keras untuk berlaku adil, baik dalam urusan nafkah lahir dan bathin, maka sesungguhnya Allah Swt. akan mengampuni kecondongan (cinta) pada salah satu istri yang terdapat dalam hati kita semua. Allah Swt. juga akan menyayangi kita ketika sudah berusaha untuk berlaku adil.
menurut Muhmamad Abduh Poligami merupakan salah satu faktor penyebab krisis sosial dan moral di kalangan umat Islam. Munculnya poligami yang telah menyebar keberbagai lapisan masyarakat dan telah dibenarkan oleh masyarakathukum, telah menimbulkan kebencian dan permusuhan di antara keluarga dan menjadi faktor penyebab kejahatan di masyarakat luas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Muhammad Abduh menyimpulkan bahwa poligami bisa menjadi haram jika dia takut kehilangan keadilan, Muhammad Abduh memaparkan tiga alas an haramnya poligami yang pertama adalah mustahil seorang laki-laki berbuat adil.
Ini seperti Allah jelaskan dalam QS. Al-Nisa ayat 129, yang kedua maraknya perbuatan buruk seorang laki-laki terhadap para isterinya yaitu menelatarkan istri dengan tidak memberikan nafkah lahir dan batin secara baik dan adil yang ketiga yaitu adalah dampak negatif dalam segi psikologis anak-anak dari hasil poligami mereka tumbuh dengan ketengangan hubungan orangtuanya baik dengan ayah dan ibu-ibu tiri yang lain dari hal tersebut Muhammad Abduh melarang poligami.
Kesimpulan
Poligami salah satu ayat yang memiliki tingkat keorisinalitas yang tinggi dan menghasilkan produk hukum yang tidak bisaditolak tetapi dalam proses pelaksanaanya dalam tatanan kehidupan perlu adanya penafsiran yang komprehensif dengan menggunakan metode kontekstual yang menelisik dari segi asbabun nuzul, hukum, kemaslahatan, dan lain sebagainya.
BACA JUGA: Nabi-nabi dan Teknologi yang Tersurat dalam Al-Qur’an
Banyak sekali tokoh kontemporer yang menghasilkan pendapat bahwa sebenernya pernikahan yang ideal adalah monogami karena akan mudah mewujudkan tujuan pernikahan sesuai dengan syariat Islam yaitu Mawadah, sakidah, dan warahmah.
Penafsiran ayat poligami cenderung bias dengan historis yang terjadi bahwa keadilan adalah syarat utama yang terjadi sangat sulit diterapkan dan juga kategori asas pernikahan atas dasar ibadah seperti membantu para janda yang tidak ada yang menangung dalam sektor kehidupanya melihat dari beberapa aspek surat An-Nisa ayat 129 sebenarnya mengandung makna monogami sebagai sunah dalam menjalani pernikahan yang penuh. []